Friday 18 December 2015

AKU TETAP (TAK) MATI

Oleh: Lia Herliawati


Di awal pagi, kutitip embun pada sinar mentari
Sambil meneriakinya
Pergilah!,
Aku sudah lelah..
Benamkan cahayamu dalam gulita yg usang
Tiada ruang bagi tawa, yg sempat kusisipkan di jubung dalam bidukmu, wahai terang..
Hanya tinggal kabang-kabang

Maut menungguku..
Bahkan sebelum aku terlahir dari rahim seorang madu
Yg mengabdi pada iblis bertopeng pahlawan
Mendekapnya mesra dengan kelaliman

Dia yang kusebut ayah
Setiap waktu dihidangkannya tikai pangkai
Padaku, dengan lohoknya perangai
Memaksa tetesan darah menangis berderai
Luka pun terurai
Menorah

Kulihat untuk kurekam
Luka mendalam dari yang terdaalam
Saat tubuh lemah ibuku dibalutnya dengan tiam
Membonekakanku, diam.

Tumpah dukaku
Saat wanita renta itu berharap tak ada lagi hari esok
Meminta (ayah) menigasnya dengan golok
"aku layak mati!!"
kutukan itu bergema dari tenggorokannya

Nestapaku tak hilang jua
Tak seperti embun yang melekat dimuka jendela
Yang menguap karena bias surya
Aku berdiri di gapura
Antara mimpi dan terjaga

Oh, lukaku, sudikah pulih?
jangan mangsa aku lagi...!
ku hiaskan loberci dalam selendang sepi
Sambil meramu senyum benci
Kupeluk jejak-jejak duri
Lalu menggusurnya pergi

Aku bertahan hidup, meski tak sanggup
Hidup yang membelaiku agar cepat mati
Yang mengerudungiku dengan gurauan maut
Namun waktu enggan berhenti
Aku tetap tak mati

Jakarta, 30 November 2014

No comments:

Post a Comment