Monday 6 July 2015

GAGASAN PENDIDIKAN MENURUT IBNU MISKAWAIH

GAGASAN PENDIDIKAN MENURUT
IBNU MISKAWAIH

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. H. Munzier Suparta, MA.











Disusun oleh:

Lia Herliawati                                                1112011000030


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta memberikan nikmat sehat kepada penulis, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul “Gagasan Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih”. Makalah ini membahas tentang pemikiran Ibn Miskawaih tentang pendidikan akhlak dilengkapi dengan biografi beliau, dasar pemikiran, serta relevansinya dengan konteks pendidikan mutakhir.
        Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Munzier Suparta, MA. selaku dosen mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang telah memberikan kesempatan untuk mengerjakan tugas ini. Begitu pula ucapan terimakasih kepada teman-teman yang turut memberikan dukungan.
Demi tersusunnya hasil karya yang lebih baik maka kami bersedia menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Akhirnya, dengan  terselesaikannya makalah ini, semoga dapat menambah pengetahuan bagi pembaca dan menjadi amal ibadah yang baik bagi kami. Amin.     
Wassalamua’alaikum  Wr. Wb.



 Ciputat, April 2015


DAFTAR ISI

SAMPUL
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI...............................................................................................   ii
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................................ 1
A.    Latar Belakang........................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................................... 2
A.    Biografi Singkat Ibn Miskawaih............................................................. 2
B.     Dasar Pemikiran Ibnu Miskawaih............................................................ 4
C.     Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih.................................................. 6
D.    Relevansi dengan Konteks Pendidikan Mutakhir................................... 9

BAB III
PENUTUP................................................................................................... 12
A.    Kesimpulan............................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ . 13










BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Diskursus tentang pengembangan sistem pendidikan Islam yang diprakarsai para pakar pendidikan Islam serta para pengambil kebijakan selama ini telah memperkaya khazanah keilmuan dan bisa memberikan kontribusi pemikiran dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Namun dalam realisasinya, kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan belum mampu memberikan hasil yang memuaskan, khususnya dalam membentuk moral bangsa. Meskipun bangsa Indonesia terdiri dari mayoritas Islam, pelaksanaan pendidikan agama Islam tampaknya belum menyentuh pada jiwa kaum muslim.
Dalam upaya menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan pendidikan Islam saat ini, perlu dikaji konsep pendidikan yang telah diterapkan oleh tokoh pendidikan terdahulu yang eksis pada masanya seperti Ibn Miskawaih. Dia merupakan tokoh pendidikan Islam yang memiliki concern cukup tinggi terhadap nilai-nilai etika dan moral.

B.     Rumusan Masalah
            1.      Siapa tokoh Ibnu miskawaih?
            2.      Apa dasar pemikiran Ibnu Miskawaih?
            3.      Bagaimana konsep pendidikan Ibnu Miskawaih?
            4.      Bagaimana relevansinya dengan konteks pendidikan mutakhir?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Singkat Ibn Miskawaih (320-412 H/932-1030 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad ibn Muhammad ibn ya'qub ibn Miskawaih, ada yang menyebutnya "Miskawaih" (tanpa ibn).[1] Ia lahir pada tahun 320 H/932 M. di Rayy dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 412 H/ 16 Februari 1030 M. Kedua orang tuanya berasal dan berkebangsaan Persia.[2]
Soal kemajusiannya sebelum Islam, banyak dipersoalkan oleh para pengarang buku sejarah. Jurji Zaydan misalnya berpendapat bahwa ia adalah majusi lalu memeluk Islam.[3] Sedangkan Yaqut pengarang Dairah al-Ma'arif al-Islamiyah kurang sepakat akan hal itu. Menurutnya, nenek Miskawaih yang Majusi kemudian memeluk Islam.[4] Artinya Ibn Miskawaih sendiri lahir dalam keluarga Islam, sebagaimana terlihat dari nama ayahnya Muhammad.
 Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Dinasti Buwaihi (320-450 H/932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermadzhab Syi'ah.[5] Sehingga ia diduga beraliran Syi'ah, karena sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah dinasti Buwaihi. [6] Kemudian ia hijrah ke Baghdad dan belajar sastra Arab dan Persi kepada menteri al-Mahlabi pada tahun 348 M. dan menetap di sana bersama ahli sastra lainnya sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 352 H.
Setelah itu dia kembali ke Rayy dan mengaji kepada ibn al-'Amid, seorang intelektual profesional di bidang arsitek bangunan, ahli filsafat, logika dan ahli bahasa dan sastra Arab, serta penyair dan penulis terkenal. Kurang lebih tujuh tahun ia belajar sampai ibn al-'Amid meninggal dunia pada tahun 359 H.
Di beberapa sumber yang lain menyebutkan bahwa ibn Miskawaih juga mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadli, belajar filsafat ke ibn al-Akhman, dan mempelajari kimia dari Abu Tahyyib al-Razy. Ia juga pernah bekerja sebagai bendahara, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi. Ayahnya seorang pegawai pemerintahan, dengan demikian ia memiliki kesempatan untuk bergaul dengan kalangan terhormat dan para birokrat.[7]
 Ibn Miskawaih sangat tertarik kepada masalah sejarah, filsafat dan etika. Pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles. Pemikiran filsafatnya dapat dijumpai dalam bukunya al-Fauz al-Asghar. Dalam buku tersebut, ia membahas ide-ide filosofisnya ke dalam tiga bagian, yaitu : pembuktian tentang eksistensi Tuhan, tentang jiwa, dan tentang kenabian. Ia mencoba melakukan rekonsiliasi antara pemikiran Yunani dengan ajaran Islam.
Kendatipun disiplin ilmunya meliputi bahasa, sejarah dan filsafat, namun ia lebih populer sebagai filosof akhlak (al-Falsafah al 'Amaliyah), ketimbang sebagai filosof ketuhanan (al-Falsafah al-Nadzariyyah al-'Amaliyah).[8] Agaknya hal itu dimotivasi oleh situasi masyarakat yang kacau pada saat itu. Hal itu terbukti banyaknya karya-karya yang berbicara masalah pendidikan, pengajaran, etika yang utama dan metode-metode yang baik bagi semua masalah tersebut. Adapun karya-karyanya adalah:
           1.      Tahdzîb al-Akhlaq wa Tathîr al-A'raq (tentang etika)
           2.      Kitab al-Sa'âdah (etika politik)
           3.      Kitab al-Fawz al-Kabîr (etika)
           4.      Kitab al-Fawz al-Shaghîr (mengenai ketuhanan, kejiwaan dan kenabian / metafisika)
           5.      Kitab Jawidan Khard / al-Aql al-Azalî (ungkapan bijak dari para filosof)[9]
           6.      Tajrib al-Umam (kitab sejarah)
           7.      Kitab Uns al-Farîd (berisi anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara)
           8.      Laqz Qabis (kumpulan risalah)
           9.      Badi’al-zaman al-hamazani (kaidah sya’ir)
          10.  Al Muqaddimah al Zikr (petuah-petuah)
          11.  Kitab ‘Asyar (kumpulan syair-syair)[10]
          12.  Kitab al-Musthafâ
          13.  Kitab al-Adawiyah al-Mufradah, dan lain-lain.

       Namun  dari  sekian banyak karya tersebut, yang paling terkenal adalah[11] :
              1.       Al-Uns al-Farid (berisi anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara).
  1. Tajarrib al-Umam (tentang sejarah)
  2. Al Fauz al Ashghar (metafisika)
  3. Al Fauz al-Akbar (etika)
  4. Tahzib al Akhlaq wa That hir  al ‘Araq (etika / moral) 
  5. Tartib al Sa’adah (etika politik).

B.     Dasar Pemikiran Ibn Miskawaih
Sebagaimana para filosof Islam pada umumnya, Ibn Miskawaih mencoba menyatukan konsep filsafat Yunani dengan syari'at Islam, hanya saja upayanya lebih terfokus pada masalah moral. Sehingga pemikiran pendidikannya tidak terlepas dari konsep tentang manusia dan akhlak. Ibn Miskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki bermacam-macam daya. Dia membaginya kepada tiga komponen:
          1.      Daya bernafsu (al-afs al-bâhimiyyah)
          2.      Daya berani (al-nafs al-sabû'iyyah)
          3.      Daya berfikir (al-nafs al-nâthiqah).[12]
Daya yang pertama merupakan daya terendah yang dimiliki oleh manusia sedangkan daya tersebut merupakan unsur ruhani manusia yang asal kejadiannya berbeda-beda. Jika daya yang pertama dan kedua merupakan unsur rohani yang berasal dari unsur materi, maka daya yang ketiga itu sebagai daya tertinggi yang berasal dari ruh Tuhan. Karena itu dia berpendapat bahwa kedua nafs yang berasal dari materi itu suatu saat akan hancur seiring dengan hancurnya badan, sedangkan al-nafs al-nâtiqah tidak akan mengalami kehancuran.[13]
Selanjutnya Ibn Maskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa alsyahwiyyah/al-bahîmiyyah dan jiwa al-sabûiyyah al-ghadlabiyyah dengan jasad pada hakikatnya saling mempengaruhi. Artinya baik/buruknya kondisi tubuh mempengaruhi terhadap kuat atau lemahnya kedua jiwa tersebut. Oleh karena itu, kedua macam jiwa tersebut tidak akan sempurna menjalankan profesinya tanpa diberi sarana yaitu alat badani yang terdapat dalam tubuh manusia, dengan begitu ia menilai bahwa manusia terdiri dari unsur jasad dan rohani yang mana antara keduanya saling berhubungan.
Selain membahas konsep manusia, ia juga membahas konsep akhlak sebagai salah satu yang mendasari pemikirannya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasarkan pada doktrin jalan tengah. Seperti halnya Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM) dan filosof muslim seperti al-Kindi dan Ibn Sina juga memiliki paham demikian.[14]
Secara umum ia memberi pengertian jalan tengah tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia atau posisi tengah antara dua posisi yang ekstrim. Namun tampaknya ia lebih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa yang dimiliki manusia. Dengan begitu kelihatan bahwa Ibn Miskawaih lebih menitikberatkan pada pembentukan pribadi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga, yaitu jiwa al-bâhimiyyah, al-sabû'iyyah dan alnâthiqah. Posisi tengah yang dimaksud oleh Ibn Miskawaih di sini adalah al-‘iffah jika dalam jiwa al-bâhimiyah, dan al-syajâ'ah dalam jiwa alghadabiyah. Sedangkan posisi tengah dari jiwa al-nâthiqah adalah alhikmah (kebijaksanaan). Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut yaitu ‘adalah (keadilan atau keseimbangan).[15]
Dan keempat akhlak tersebut merupakan induk akhlak mulia yang melahirkan berbagai macam akhlak-akhlak mulia lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Jadi, pribadi yang diidealkan oleh Ibn Miskawaih ialah pribadi yang mampu memposisikan dirinya secara proporsional dan profesional dalam rangka keseimbangan dan senantiasa menempatkan posisi tengah di antara ekstrimitas kehidupan. Selain itu juga harus memiliki kepekaan intelektual (intelectual ability) dan kepedulian emosional (emotional majority) terhadap kehidupan dirinya, masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Konsep jalan tengah tersebut sesuai dengan ajaran Islam yang diredaksikan dalam al-Qur'an bahwa manusia tidak boleh berlebihan dalam membelanjakan hartanya dan tidak pula kikir.[16] Doktrin jalan tengah di sini bisa dipahami sebagai doktrin yang memberikan nuansa dinamika. Sebagai makhluk sosial maka manusia selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti gerak zaman seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga ukurannya bisa berubah-berubah/fleksibel) tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak itu sendiri. Jadi dengan menggunakan doktrin jalan tengah tersebut, manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.

C.    Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih
Ibn Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Tampaknya ia memiliki concern yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai etika dan moral. Pendidikan diorientasikan kepada pembentukan pribadi manusia yang memiliki etika dan moral. Ibn Miskawaih berpandangan bahwa pendidikan merupakan media bagi potensi yang dimiliki manusia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada jiwa al-bâhimiyyah, al-sabû'iyyah dan al-nâthiqah. Sehingga ia merumuskan beberapa konsep pendidikannya seperti berikut :
      1.      Tujuan pedidikan akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh Ibnu Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mapu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang berilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.[17]
     2.      Materi pendidikan akhlak
Ibn Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai ateri pedidikan akhlaknya: (1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan manusia, (2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, (3) hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia[18]
Ketiga materi tersebut secara garis besar dapat diperoleh dari dua jenis ilmu yang dijelaskan dalam kitab Tahdzîb al-Akhlâk, yakni al-ulûm al-fikriyyah (ilmu-ilmu penalaran) dan al-ulûm al-hissiyyah (ilmu-ilmu inderawi).[19] Hal tersebut berbeda dengan al-Ghazali yang membedakan antara ilmu agama dan ilmu non-agama serta hukum mempelajarinya.
Tampaknya Ibn Miskawaih di sini tidak memperinci materi pendidikan yang wajib bagi kebutuhan manusia. Secara sepintas memang agak ganjil. Untuk materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan manusia disebutnya adalah shalat, puasa dan sa'i.[20] Di sini dia tidak memberi penjelasan lebih lanjut mengenai contoh tersebut. Ada kemungkinan ia mengira kita sudah bisa memahami maksudnya. Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan jiwa dicontohkan dengan pembahasan tentang akidah yang benar, mengesakan Allah SWT dengan segala kebesaran-Nya, serta motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang terkait dengan kebutuhan manusia terhadap sesamanya dicontohkan dengan materi dalam ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasihati, peperangan dan lain-lain.[21]
     3.      Pendidik dan anak didik
Pendidik dalam hal ini yaitu guru, instruktur, ustadz atau dosen yang memiliki peran penting dalam berlangsungnya kegiatan pembelajaran atau pedidikan untuk mencapai kopetensi yang diinginkan. Sedangkan anak didik yaitu siswa, murid, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran dari kegiatan pengajaran dan pendidikan yang perlu mendapatkan perhatian seksama.
Pendidik sejati menurut Ibn Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya tentang manusia yang ideal.[22]
      4.      Lingkungan pendidikan
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatkan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yag masih ada hubungannya dengan atau anak, kerabat, keturunan, rekan tetangga, kawan,atau kekasih.[23]
     5.      Metodologi Pendidikan
Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua dengan menjadikan semua pengetahuan da pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.[24]
Selain dua hal tersebut, menurutnya untuk mengubah akhlak menjadi baik maka dalam pendidikannya ia menawarkan metode yang efektif yang terfokus pada dua pendekatan yaitu melalui pembiasaan dan pelatihan, serta peneladanan dan peniruan.[25]
Pembiasaan bisa dilakukan sejak usia dini yaitu dengan sikap dan berprilaku yang baik, sopan dan menghormati orang lain. Sedangkan pelatihan dapat diaplikasikan dengan menjalankan ibadah bersama keluarga seperti sholat, puasa dan latihan-latihan yang lainnya. Peneladanan dan peniruan bisa dilakukan oleh orang yang dianggap sebagai panutan baik orang tuanya sendiri, guru-gurunya ataupun tokoh lain yang layak dijadikan figur. Model pendidikan moral dan karakter seperti itulah sampai sekarang perlu diperhatikan dan tidak bisa diabaikan begitu saja.
D.    Relevansi dengan Konteks Pendidikan Mutakhir
Pendidikan akhlak yang diintrodusir pertama kali oleh Ibn Miskawaih memiliki urgensi nilai yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian bangsa ke depan. Sebagaimana kita ketahui bahwa semua krisis yang terjadi dewasa ini baik ekonomi, politik dan sosial budaya itu disebabkan karena akhlak tidak lagi menjadi kerangka atau bingkai kehidupan. Perilaku korupsi, kolusi, perjudian, perzinahan, narkoba, dan kekerasan yang terjadi selama ini disebabkan hancurnya pendidikan moral dan akhlak.
Cukup beralasan jika ibn Miskawaih menekankan pendidikan moral (moral education) bagi pembangunan manusia. Karena sejatinya pembangunan manusia adalah pembangunan jiwa dengan keutamaan (ahsan taqwîm) harus berbanding lurus dengan kenikmatan jasmani, harta dan kekuasaan. Kehidupan manusia bukanlah kehidupan zuhud dan penolakan, melainkan kompromi dan penyesuaian antara tuntutan jasad dan ruh (jasmani dan rohani). Orang bijak bukanlah orang yang meninggalkan kenikmatan dunia sepenuhnya akan tetapi menghubungkannya dengan kenikmatan spiritual dengan etika sebagai kontrolnya.
Hal ini cukup relevan jika kita jadikan acuan di era masa kini, agar kita tidak hanya mementingkan kehidupan duniawi saja ataupun sebaiknya, melainkan kita harus mengkombinasikan keduanya dan mengaturnya sedemikian rupa agar segala yang kita kerjakan di dunia ini semata-mata hanyalah untuk kehidupan akhirat kelak yang sifatnya lebih kekal.
Nilai-nilai pendidikan seperti itu harus mulai ditanamkan sejak usia dini. Karena hal itu tidak bersifat alami dalam diri manusia tapi harus diusahakan jadi merupakan suatu kewajiban untuk mengajarkan dasar-dasar pengetahuan dan etika pergaulan dalam proses pembelajaran dan pendidikan.
Dari dua metode yang ditawarkan oleh Ibn Miskawaih yaitu melalui pembiasaan dan pelatihan secara kontinyu serta peneladanan dan peniruan dari orang yang ada di sekitarnya. Dapat dilihat perlu adanya upaya dari para pendidik baik orang tua maupun guru-guru yang patut dijadikan panutan bagi peserta didiknya. Karena peran yang mulia itulah agama menempatkan orang tua sebagai manusia yang harus di taati setelah Allah SWT dan rasulnya. Selain orang tua yang memiliki peran yang sangat urgen, guru juga tidak kalah penting peranannya sebagai wakil dari orang tuanya. Apalagi saat ini tidak sedikit orang tua yang sibuk dengan aktifitasnya di luar rumah sehingga anak-anaknya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan guru dan teman-temannya di sekolah. Dari situ guru di tuntut untuk profesional dibidangnya selain itu juga ia harus memiliki kasih sayang sebagaimana yang dimiliki oleh para orang tua. Oleh sebab itu, seorang guru diharapkan tidak hanya melakukan transfer of knowledge tetapi harus melakukan transformasi keilmuan dan kependidikan bagi anak didiknya. Apapun sistem ataupun pendidikan etika yang diajarkannya, menurut Ibn Miskawaih guru merupakan centre of learning yang menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan. Namun eksistensinya tidak bertumpu pada ilmu yang dimilikinya, melainkan pada perilakunya yang baik dan strategi ataupun metodologi yang digunakannya dalam pendidikan.
Tampaknya teori pendidikan Ibn Miskawaih didasarkan pada teori pendidikan Aristoteles yang menekankan pada segi intelektual, kejiwaan dan pendidikan moral yang diarahkan pada upaya melahirkan manusia yang baik menurut pandangan masyarakat serta untuk mencapai kebahagiaan hidup yang abadi dan mengamalkan dalam kehidupannya. Seperti halnya Plato dan Aristoteles, Ibn Miskawaih percaya bahwa pendidikan harus berkaitan dengan keahliannya. Karena menurutnya tujuan pendidikan adalah mengkombinasikan keinginan manusia dengan keinginan Tuhan.
Jika diamati, perspektif pendekatannya lebih mengarah kepada kecakapan hidup (life skill), baik secara personal maupun sosial, yang kompetensi-kompetensi tersebut tercakup ke dalam desain Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diterapkan di sekolah/madrasah saat ini. Karena itu, sebelum melaksanakan pendidikan seorang pendidik harus melakukan identifikasi kompetensi dengan menetapkan dan mendeskripsikan ciri-ciri, jenis dan mutu kompetensi. Hal itu dilakukan agar pendidikan kita tepat sasaran dan sesuai dengan karakter peserta didik.



BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan

Dasar pemikiran Ibn Miskawaih adalah membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Tujuan pendidikan yang dirumuskan adalah untuk mewujudkan sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, karena sejatinya pendidikan itu adalah membangun karakter atau watak peserta didik. Dengan begitu diharapkan integritas keilmuan seseorang sejalan dengan integritas keimanan dan akhlaknya.
Selanjutnya guru dituntut untuk profesional di bidangnya, harus memiliki kasih sayang sebagaimana yang dimiliki oleh para orang tua. Seorang guru diharapkan tidak hanya melakukan transfer of knowledge tetapi harus melakukan transformasi keilmuan dan kependidikan bagi peserta didiknya. Ada dua metode yang ditawarkan oleh Ibn Miskawaih untuk mencapai pendidikan akhlak yaitu melalui pembiasaan dan pelatihan secara kontinyu serta peneladanan dan peniruan dari orang yang ada di sekitarnya termasuk guru. Karena guru merupakan centre of learning yang menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan.
Namun eksistensi guru tidak bertumpu pada ilmu yang dimilikinya, melainkan pada perilakunya yang baik dan strategi ataupun metodologi yang digunakannya dalam pendidikan. Wa Allâh a’lam bial-Shawâb.



DAFTAR PUSTAKA
Alavi, Ziauddin. 2003. Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan. Bandung: Angkasa
Hasan, Muhammad Thalhah. 2006. Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Lantabora Press
Khursyid, Ibrahim Zaky. tt. Dâirah al-Ma'ârif al-Islâmiyah Vol. I. Kairo: al-Sya'ab
Mahmud, Abd al-Halim. 1982. Tafkîr al-Falsafî fî al-Islâm. Beirut: Dar al-Kitab al-Lubrani
Miskawaih, Ibn.  al-Fauz al-Ashghâr dalam Kajian Filsafat Pendidikan Islam
_________, Ibn. 1398. Tahdzîb al-Akhlâk. Beirut: Mansyurat Dar Maktobat Al-Hayat
Musa, Muhammad Yusuf. tt. Falsafah al-Akhlâq fî al-Islâm. Kairo: Muassat al-Khaniji
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Meadia Pratama
Nata, Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Tholhah, Imam. 2004.  Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004




[1] Muhammad Thalhah Hasan, Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Lantabora Press, 2006), hlm. 112.
[2] Imam Tholhah, et.al., Membuka Jendela Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 338.
[3] Muhammad Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlâq fî al-Islâm (Kairo: Muassat al-Khaniji, tt), hlm. 388.
[4]Ibrahim Zaky Khursyid, et al, Dâirah al-Ma'ârif al-Islâmiyah Vol. I (Kairo: al-Sya'ab, tt), hlm. 388.
[5] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 20.
[6] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Meadia Pratama, 1999), hlm. 56.
[7] Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan (Bandung: Angkasa, 2003), hlm. 42.
[8] Imam Tholhah, Membuka Jendela Pendidikan, hlm. 240-241.
[9] Imam Tholkhah, op.cit., hlm. 240
[12] Lihat Ibn Miskawaih, Tahdzîb al-Akhlâk (Beirut: Mansyurat Dar Maktobat Al-Hayat, 1398 H), Cet. II, hlm. 62.
[13] Ibn Miskawaih, al-Fauz al-Ashghâr dalam Kajian Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 27.
[14] Abd al-Halim Mahmud, Tafkîr al-Falsafî fî al-Islâm (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubrani, 1982), hlm. 323-325.
[15] Lihat Ibn Miskawaih, Tahdzîb al-Akhlâk, hlm.38.
[16] Q.S. al-Furqan: 67
[17] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 11
[18] Ibid., hlm. 12
[19]Lihat Ibn Miskawaih, Tahdzîb al-Akhlâk, hlm. 81, Lihat juga Ibn Miskawaih, Kitâb as-Sa'âdat, hlm. 54.
[20] Ibid., hlm. 116.
[21] Ibid., hlm. 117.
[22] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 18
[23] Ibid., hlm. 20
[24] Ibid., hlm. 22
[25] Ibid., hlm. 65-66. 

No comments:

Post a Comment