MAKALAH
Menganalisis konsep Insan
Kamil menurut Abdul Karim al-Jilly serta menerapkan ajaran yang kompatebel
dengan kekinian
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian tentang manusia merupakan obyek yang menarik dan tidak kunjung
selesai untuk dibicarakan. Oleh sebab itu, dari kajian-kajian menyangkut obyek
tersebut telah lahir beragam disiplin ilmu. Sekalipun demikian, anehnya, kajian
itu senantiasa merupakan suatu misteri yang tidak pernah tuntas. Salah satu
aspek kajian tentang manusaia yang menarik adalah menyangkut pencapaian
kesempurnaan dirinya, kepuasan bathinnya, dan kehidupannya yang hangat dan
bermakna.
Islam, melalui ayat-ayat al-Qur’an, telah mengisyaratkan tentang
kesempurnaan diri manusia, seperti antara lain disebutkan, ”Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik kejadian. Kemudian kami
kembalikan ia ke derajat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang
beriman dan melakukan amal shaleh.”[1]
Kendati manusia memiliki potensi kesempurnaan sebagai gambaran dari
kesempurnaan citra Illahi, tetapi kemudian, ketika ia aterjauh dari prototipe
ketuhanan, maka kesempurnaan itu semakin berkurang. Untuk itu, jalan
satu-satunya mencapai kesempurnaan itu ialah kembali kepada Tuhan dengan iman
dan amal saleh. Kajian tentang upaya untuk kembali kepada Illahi, antara lain,
terdapat dalam tasawuf, yang berpuncak pada doktrin insan kamil.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup
dan biografi spiritual Abd. Karim Al-Jilli?
2. Bagaimana konsep insan
kamil al-Jilli?
3.
Bagaimana menerapkannya di masa kini?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Spiritual Abdul
Karim al-Jilly
Nama lengkapnya
adalah ‘Abdul Karim ibn Ibrahim ibn Abdul Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn
Mahmud Al-Jili. Ia mendapatkan gelar kehormatan ”syaikh” yang biasa dipakai di
awal namanya. Selain itu, ia juga mendapat gelar ”Quthb al-Din” (kutub /
poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hierarki sufi. [2]
Beliau lahir di jilan (Gilan), yaitu sebuah
negeri di kawasan Baghdad bagian selatan laut Kasfia yang terletak di Asia
Tengah pada awal Muharam tahun 767 H. bertepatan dengan tahun 1365 M. Namun
para penulis berbeda pendapat tahun meninggalnya, ada yg berpendapat tahun 832
H/ 1428 M, ada yang berpendapat tahun 805 H/ 1403 M, ada yang berpendapat antara
tahun 1406 M dan 1417 M dan ada juga yang berpendapat antara tahun 811 H dan
820 H.[3]
Nama Al-Jili
diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal
dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah,
tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan
perjalanan ke India pada tahun 1387 M. Kemudian belajar tsawuf di bawah
bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri dan pimpinan tarekat
Qadiriyah yang sangat terkenal. Di samping itu, ia berguru pada Syekh
Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun
1393-1403 M.[4]
Dalam kehidupan kerohanian ‘Abd. Karim
al-Jilly terkenal sebagai seorang pembela dan penerus ajaran Muhyiddin Ibn al-‘Arabi
dan Jalal ad-Din al-Rumi. ‘Abd. Karim al-Jilly merupakan seorang sufi yang
kreatif, banyak tulisannya tentang tasawuf . Karya Al-jili yang paling terkenal adalah Al-Insan al-Kamil Fi Ma’rifah al-Awakhir wa
ak-Awail yang menurutnya ditulis berdasarkan ilham dari Allah SWT.
disamping itu ia juga menulis kitab
Al-Kahf wa al-Raqim Fi Syarh Bismillahi al-Rahman al-Rahim dan sekitar 20
manuskrip tulisan tangan yang memuat pembelaannya terhadap konsep wahdat al-wujud Ibn Arabi.[5]
Tahun
790 H ia berada di Kusyi, India.[6]
Tetapi sayang, ia tidak menjelaskan apa tujuannya ke India itu dan berapa lama
ia disana. Ia hanya menceritakan pengalamannya bahwa ia menyaksikan orang yang
merasa nikmat ketika lehernya terpenggal oleh pedang. Ketika berkunjung ke
India ini, Al-Jili melihat tasawuf falsafi Ibn Arabi dan tarekat-tarekat antara
lain Syisytiyah (didirikan oleh Mu’in al-Din al-Syisyti), Suhrawardiyah
(didirikan oleh Abu Najib Al-Suhrawardi, dan Naqsyabandiyah (didirikan oleh
Bahar al-Din Al-Naqsyabandi) berkembang dengan pesat.
Pada
akhir tahun 799 H, ia berkunjung ke Makkah dalam rangka menunaikan ibadah haji,
namun dalam kesempatan itu ia sempat pula melakukan tukar pikiran dengan
ulama-ulama disana. Hal ini menandakan bahwa kecintaannya terhadap ilmu
pengetahuan melebihi kecintaannya terhadap hal-hal lain.[7]
Adapun prinsip-prinsip ajaran Abd. Karim al-Jilly
menyangkut tiga aspek, yaitu:
a.
Tentang pengertian zat
b.
Tentang masalah roh
c.
Tentang Nur Muhammad
Selain dari
ajaran tersebut, al-Jilly terkenal pula sebagai pelopor dari ajaran al-Insan al-Kamil, yaitu manusia
yang sempurna. Menurut al-Jilly Muhammad SAW adalah al-Insan al-Kamil, karena
beliau memiliki sifat al-haq (Tuhan) dan al-Khalq (makhluk) sekaligus. Dan
sesungguhnya al-insan al-Kamil itu adalah ruh Muhammad , wali-wali, serta
orang-orang saleh.[8]
B.
Pemikiran Abdul
Karim al-Jilly tentang insan kamil
Istilah insan kamil muncul dalam literature
islam pada abad ke-7 H / 13 M dan dipergunakan pertama kali oleh Ibn ‘Arabi.
Kemudian menyebar melalui pengikut-pengikut Ibn ‘Arabi, seperti Shadr al-Din
al-Qunawi, Jalal al-Din al-Rumi, dan Mahmud Sabistari. Istilah ini selanjutnya
mendapat perhatian khusus dari al-Jilly, yang mengembangkan konsep tersebut
dalam karya tersendiri al-Insan al-Kamil.[9]
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu terdiri
dari dua kata: al-insan dan al-kamil. Secara harfiah al-insan
bararti manusia, dan al-kamil berarti yang sempurna.
Insan kamil lebih ditunjukan kepada manusia yang sempurna
dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal
sehat, fitrah, dan yang lainnya yang bersifat batin.
Insan kamil
juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaninya sehingga dapat
berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk
lainnya secara benar menurut akhlak islam. Manusia yang selamat rohaniah itulah
yang diharapkan dari manusia insan kamil. Manusia yang demikian inilah yang
akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat.[10]
Al-Jili memiliki pandangan yang sama dengan Ibn Arabi mengenai hal diatas,
walaupun demikian keduanya berbeda pendapat dalam hal teknis menyangkut proses
munculnya insan kamil itu. Dengan kata lain, Al-Jili dan Ibn Arabi mempunyai
kesamaan tentang eksistensi dari tajalli dan taraqqi, tetapi
mempunyai persepsi yang berbeda dalam melihat proses terjadinya tajalli
dan taraqqi tersebut.
Disamping memodifikasi dan menyesuaikan
konsep insan kamil yang telah ada dengan prinsip-prinsip teologi, al-Jilli juga
berusaha memperjelas, merinci, ataupun menyederhanakan konsep insan kamil
tersebut, seperti terlihat pada pandangan di bawah ini[11]:
1.
Al-Jilli merinci
tiga martabat (peringkat) dalam proses tajalli Illahi yang telah dikemukakan
Ibn ‘Arabi menjadi lima martabat, yaitu martabat-martabat: Uluhiyah,
ahadiyah, wahidiyah, rahmaniyah, dan rububiyah. Bahkan di bawah
martabat-martabat tersebut ia menempatkan 35 martabat lagi, sehingga seluruhnya
mencapai 40 martabat.
Menurut
Al-Jili, tajalli Ilahi yang berlangsung secara terus menerus pada alam
semesta terdiri atas lima martabat, yaitu : pertama, martabat uluhiyah.
Yaitu, esensi dari dzat primordial, yang menjadi sumber dari Yang Wujud dan
Yang ‘Adam, Yang Qodim dan Yang Hadits, Al-Haqq,
dan Al-Khalq. Dikatakan oleh Al-Jili, bahwa martabat uluhiyah
merupakan martabat yang tinggi dalam urutan tajalli Ilahi, karena
didalamnya tercakup segenap realitas dari segala sesuatu. Oleh karena itu,
dalam kaitannya dengan tajalli berikutnya, martabat uluhiyah
merupakan sumber primer dari segalanya, baik Yang Wujud maupun Yang ‘Adam.
Pandangan
ini berbeda dengan pandangan Ibn Arabi, yang meletakkan martabat ahadiyah
sebagai peringkat pertama dalam proses tajalli Ilahi. Ahadiyah
menurut Ibn Arabi, merupakan dzat murni, tidak berkorelasi dengan apapun, baik
sifat maupun asma’. Dialah martabat tertinggi dalam proses tajalli
Tuhan.
2.
Ibn ‘Arabi
mengemukakan 60 maqam yang harus dijalani untuk mencapai peringkat insan
kamil, maka al-Jilli menyederhanakannya menjadi 7 maqam, yaitu : iman,
islam, shaleh, ihsan, syahadah, shidqiyah, dan qurbah.
3.
Menurut al-Jilli
insan kamil berkedudukan sebagai quthb (wali tingkat tertinggi) dan
sebagai khalifah Allah. Hal ini disebabkan:
a.
Karena ia
sebagai wadah tajalli Illahi yang paripurna
b.
Memiliki
pengetahuan yang tinggi, yakni pengetahuan esoteric, dan
c.
Didukung oleh
tujuh daya rohaniah yang dimilikinya, yaitu: qalb (hati), wahm
(estimasi), himmah (meditasi), fikr (pikiran), khayal (fantasi),
dan nafs (jiwa), yang merupakan aspek-aspek dari hakikat Muhammad. Hal demikian
berbeda dengan Ibn ‘Arabi yang hanya mengemukakan dua alasan pertama di atas.
4.
Ibn ‘Arabi
menyebutkan hanya ada satu model insan kamil, al-Jilli memperluasnya dengan
mengemukakan tiga model dalam tiga tingkatan, yaitu:
a.
Tingkat bidayah
(permulaan), dimana seseorang mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat
Tuhan.
b.
Tingkat tawassuth
(menengah), dimana seseorang tampil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan
dan sebagai realitas kasih sayang Tuhan.
c.
Tingkat khitam
(terakhir), dimana seseorang telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara
utuh.
Dari kajian di atas, terlihat bahwa
al-jilli telah berupaya mengembangkan konsep insan kamil secara kreatif dan
kritis. Dalam hal itu, ia berusaha melakukan modifikasi-modifikasi dan
penyesuaian-penyesuaian ke arah prinsip-prinsip teologis serta memperjelas,
merinci, dan juga menyederhanakan konsep insan kamil itu dengan upaya yang
serius dan mendalam. Tetapi usahanya itu hanya terbatas pada pengembangan
materi (isi) dari konsep yang telah ada itu, bukan menyangkut teori dasar yang
melandasi konsep itu. Hal demikian dapat dimengerti, karena teori tersebut
secara umum dapat diterima dalam tasawuf, sebab (menurut versi sufi) dapat
dibenarkan oleh logika dan tidak bertentangan dengan kandungan Kitab Suci
al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Adapun dalam hal isi konsep itu (khususnya)
menurut versi mutakallimin) masih terdapat hal-hal yang dipandang tidak sesuai
dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Oleh karena itu, al-Jilli berupaya
semaksimal mungkin mengembangkan konsep insan kamil dari sisi isinya agar
sesuai dengan ajaran islam yang diyakininya itu. Ini terlihat dari pernyataannya
ketika mengantarkan karyanya al-Insan al-Kamil, “Sesungguhnya saya tidak
menempatkan sesuatu di dalam kitab ini kecuali yang dikuatkan oleh Kitab Allah
dan Sunnah Rasulullah SAW.”[12]
Menurut
Al-jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti disebutkan
dalam hadis berikut:
خلق الله اد م
على صورة الرØمن
Allah menciptakan Adam
dalam bentuk yang Maharahman.
Hadits lain
adalah:
خلق
الله اد م على صورته
Allah
menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.
Sebagaimana
diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak,
dan mendengar. Manusia (Adam) pun memilki sifat-sifat seperti itu. Proses yang
terjadi setelah ini adalah setelah
Tuhan menciptakan substansi, huwiyah Tuhan dihadapkan dengan huwiyah Adam, Aniyah-Nya disandingkan dengan Aniyah
Adam, dan zat-Nya dihadapkan pada zat Adam , dan akhirnya Adam berhadapan
denga Tuhan dalam segala hakikat-Nya. Melalui konsep ini, kita memahami bahwa
Adam, dilihat dari sisi penciptaannya, merupkan salah seorang insan kamil dengan
segala kesempurnaanya sebab pada dirinya terdapat sifat nama Ilahiah.
Al-jili
berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya merupakan
milik insan kamil sebagai suatu
kemestian yang inheren dengan esensinya sebab
sifat dan nama-nama tersebut tidak memilki tempat berwujud, melainkan insan
kamil.
Lebih
lanjut, Al-jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan
kamil adalah bagaikan cermin yang seseorang tidak akan dapat melihat bentuk
dirinya, kecuali dengan menggunakan cermin itu.
Demikian
pula halnya dengan insan kamil. Ia tidak dapat melihat dirinya, kecuali
dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat dirinya,
kecuali melalui cermin insan kamil. Inilah maksud ayat berikut ini
“Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat (tugas-tugas keagamaan) kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh”(Q.S.
Al-Ahzab: 72)
Lebih lanjut, al-Jili berkata bahwa duplikasi al-kamal
(kesempurnaan) adalah sama semua dimilki oleh manusia, bagaikan cermin yang
saling berhadapan. Ketidaksempuranaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang
bersifat ‘ardhi, termasuk manusia yang berada dalam kandungan ibunya. Al-kamal
dalam konsep mungkin dimiliki oleh
manusia secara professional (bi al-quwwah) dan mungkin pula secara
aktual (bi al-fiil), seperti yang terdapat dalam para wali dan para nabi
meskipun dalam intensitas yang berbeda. Intensitas al-akmal (yang paling
sempurna) atau al-fadhil (yang
utama) dengan al-afdhal (yang
paling utama).
Insan kamil, menurut konsep
al-Jili adalah perencanaan zat Allah (nuktah al-haqq) melalui proses
empat tajalli seperti tersebut
diatas, sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun dalam diri
Muhammad SAW.
Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jili dekat dengan konsep hulul
al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn ‘Arabi, yaitu integrasi sifat lahut dan
nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibn Arabi
mentransfer konsep al-hulul al-Hallaj dalam paham ittihad ketika menggambarkan insan kamil sebagai
wali-wali Allah, yang diliputi oleh Nur Muhammad SAW.[13]
Al-Insan al-Kamil, dalam konsep Al-Jili,
merupakan pencerminan zat Allah sekaligus sebagai poros Maujudat, yang terhimpun sepenuhnya dalam diri Muhammad SAW.
Meskipun Al-Jili membawa konsep kesatuan wujud, tetapi dia tetap menjalankan
kewajiban yang ditetapkan syari’at seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya,
bahkan menurutnya, semakin tinggi derajat seseorang, semakin banyak ibadah yang
harus dilakukannya.[14]
Dengan demikian dari sudut pandang manusia, Tuhan merupakan cermin
bagi manusia untuk melihat dirinya. Ia tidak mungkin melihat dirinya tanpa
cermin itu. Sebaliknya, karena Tuhan mengharuskan diri-Nya agar
sifat-sifat dan nama-nama-Nya tidak dilihat, Tuhan menciptakan insan kamil
sebagai cermin bagi diri-Nya. Dari sini,nampak antaraa hubungan Tuhan dan Insan
kamil.
Insan kamil bagi Al-Jili merupakan proses tempat beredarnya segala
yang wujud (aflak al-wujud) dari awal sampai akhir. Dia adalah satu
(wahid) sejak wujud untuk selamanya. Disamping itu, insan kamil dapat muncul
dan menampakan dirinya dalam berbagai macam. Ia diberi nama dengan nama yang tidak diberikan kepada
orang lain. Nama aslinya Muhammad, nama kehormatannya Abu Al-Qasim, dan
gelarnya Syamsu Ad-Din.
Dari uraian di atas, Al-jili menunjukan penghargaan dan
penghormatan yang tinggi kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai insan kamil yang paling
sempurna. Sesungguhnya beliau telah wafat, tetapi nurnya akan tetap abadi dan mengambil bentuk
pada diri orang-orang yang masih hidup. Ketika Nur Muhammad itu mengambil
bentuk dan menampakan diri pada seseorang, ia dipanggil dengan nama yang sesuai
dengan bentuk itu.
Untuk memenuhi hal ini Al-Jili mengungkapkan pengalamanya sendiri
sebagai berikut, “Satu ketika aku bertemu dengan Nabi Muhammad dalam
bentuk syehku, yaitu Syaraf Ad-Din
Ismail Al-Jabarti. Aku tidak tahu bahwa dia adalah Nabi Muhammad dan yang aku
ketahui bahwa dia adalah syehku. Inilah satu penglihatan yang aku dapati di
Zabid pada tahun 797.”
Makna yang terkandung dari peristiwa di atas bahwa Nabi Muhammad
memiliki kemampuan mengambil bentuk dalam berbagai bentuk. Apabila nabi muncul
dalam bentuk aslinya sebagaimana saat hidupnya, beliau dipanggil dengan nama
Muhammad. Akan tetapi, bila beliau muncul dalam bentuk lain dan diketahui bahwa
ia adalah Muhammad, ia dipanggil dengan nama bentuk itu. Nama yang dimaksud
dalam konteks yang kedua ini adalah hakikat Muhammad.
Peristiwa lain yang dapat memperjelas makna di atas adalah bahwa suatu
ketika Nabi Muhammad muncul dalam bentuk Syibli yang berkata kepada muridnya,
“bersaksilah bahwa aku adalah utusan Allah.” Secara kebetulan, murid tersebut
memilki ilmu kasyaf sehinnga dengan mudah dapat mengenalinya sebagai Nabi, lalu
ia menjawab “Saya bersaksi bahwa Engkau utusan Allah.”
Bagaimana halnya dengan pertemuan lewat mimpi? Apakah ada
perbedaan antara keduanya, yaitu antara pertemuan lewat mimpi dan pertemuan
lewat mistik, yakni pendekatan tasawuf.
Menurut Al-Jili, ada perbedaan antara mimpi dan pertemuan mistik,
yaitu bahwa dalam mimpi, Muhammad masuk dalam diri seseorang yang sedang tidur.
Hal ini tentu akan membuatnya sadar akan hakikat Muhammad sehingga ia tidak
dapat memperolehnya dan ketika orang itu bangun (sadar), lalu ia menafsirkan
hakikat Muhammad itu sebagai hakikat yang tingkatannya sebatas mimpi saja.
Sebaliknya, dalam pertemuan mistik langsung maka setelah melihatnya dalam diri,
ia tidak boleh bertingkah laku di hadapannya sebagaimana tingkah laku
sebelumnya.
Demikianlah yang dimaksud dalam pernyataan bahwa hati dapat
menyerupai bentuk apa saja yang dikehendaki. Dalam hal ini, sunnah berlaku
bahwa Nabi akan mengandalkan bentuk mereka dan hampir mencapai derajat
kesempurnaan. Hal ini maksudnya adalah menempatkan Muhammad pada derajat yang
tinggi di antara mereka dan dapat meluruskan kekeliruan mereka. Ini artinya
bahwa dari luar mereka yang hampir sempurna tampak sebagai duta Muhammad,
sedangkan dari dalam Muhammad sebagai esesnsi hakikat mereka.
C.
Ajaran yang
kompatebel bagi kekinian dan penerapannya
Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, seorang sufi harus menempuh
jalan panjang berupa stasiun-stasiun atau dalam istilah Arab disebut maqamat.
Sebagai seorang sufi, Al-Jili dengan mebawa filsafat insan
kamil merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang
menurut istilahnya disebut al-martabah atau jenjang atau tingkat.
Tingkat-tingkat itu adalah:
1.
Islam
2.
Iman
3.
Shalah
4.
Ihsan
5.
Syahadah
6.
Shidiqqiyah
7.
Qurbah
Pertama, islam, yang
didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya
dilakukan secara ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
Misalnya puasa, menurut Al-Jili, merupakan isyarat untuk menghindari tuntutan
kemanusiaan agar si shaim memilki sifat ketuhanan, yaitu dengan cara
mengosongkan jiwanya dari tuntutan-tuntutan kemanusiaan, maka terisilah jiwa
oleh sifat-sifat ketuhanan.
Kedua, iman, yakni membenarkan
dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan dasar-dasar Islam.
Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam gaib dan alat yang
membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi. Iman
menunjukan sampainya hati mengetahui sesuatu yang jauh di luar jangkauan akal
sebab sesuatu yang diketahui akal tidak selalu membawa kepada keimanan.
Ketiga, ash-shalah, yakni
dengan maqam ini, seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang
terus-menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja’.
Tujuan ibadah pada maqam ini adalah mencapai nuqthah ilahiah pada
lubuk hati sang hamba, sehingga ia mencapai kasyaf, ia akan menaati
syariat Tuhan dengan baik.
Keempat, ihsan, yakni maqam
ini menunjukan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar)
nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia akan merasa seakan-akan
berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah
sikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, ridha, dan
ikhlas.
Kelima, syahadah, seorang
sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan, yaitu mahabah
kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan
hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi dalam dua tingkatan,
yaitu mencapai mahabah kepada Tuhan tanpa pamrih, yang merupakan tingkat paling
rendah, dan menyaksikan Tuhan pada semua makhluknya secara ‘ainul yaqin’,
yang merupakan tingkat paling tinggi.
Keenam, shidiqqiyah, istilah
yang menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat, yang diperoleh
secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan haqq
al-yaqqin. Ketiga tingkat makrifat itu dialami seorang sufi secara
bertahap. Jadi, menurut Al-Jilii, seorang sufi yang telah mencapai derajat
shiddiq akan menyaksikan hal-hal yang gaib, kemudian melihat rahasia-rahasia
Tuhan sehingga mengetahui hakikat dirinya. Setelah mengalami fana’, ia
memperoleh baqa ilahi. Jika telah baqa Tuhan, selanjutnya diikuti
dengan menampakan nama-nama. Inilah batas pencapaian ilmu al-yaqin.
Selanjutnya, ketika penampakan sifat-sifat terjadi, akan diperoleh
makrifat zat dari segi sifat. Hal tersebut berlangsung terus sampai mencapai
makrifat zat dengan zat, ia mencoba melepaskan sifat-sifat Rububiyah
sehingga akhirnya terhiasi dengan sifat-sifat dan nama Tuhan. Tingkat semacam
inilah dinamakan haqq al-yaqin.
Ketujuh, qurbah, maqam ini
merupakan maqam yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakan diri
dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Demikianlah, maqam-maqam yang dirumuskan Al-Jili dalam
upaya mendekati Tuhan. Namun, satu hal yang diketahui bahwa Al-Jili mengatakan,
“Mengetahui zat yang Maha tinggi itu secara kasyaf ilahi, kamu di hadapan-Nya dan Dia
di hadapanmu tanpa hulul dan ittihad. Sebab, hamba adalah
hamba.Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan
atau sebaliknya. Dengan pernyataan ini, dapat kita pahami bahwa sungguhpun
manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia tetap tidak bisa menyamai
sifat dan nama-nama-Nya.[15]
a. Ciri-ciri
Insan Kamil
1. Berfungsi
akalnya secara optimal
Manusia
yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan
manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat Insan Kamil.
2. Berfungsi
Intuisinya
Intuisi
ini dalam pandangan Ibnu Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya
jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu
hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.
3. Mampu
menciptakan budaya
Manusia
yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi
rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibnu Khaldun manusia adalah makhluk
berpikir. Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya memmbuat
kehidupannya sendiri tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna
memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini yang melahirkan peradaban.
4. Menghiasi
diri dengan sifat-sifat ketuhanan
Manusia
yang dengan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada dirinya yang dapat
mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain. Sebagai khalifah Allah dimuka bumi
ia melaksanakan amanat Tuhan dengan melaksnakan perintah-Nya.
5. Berakhlak
mulia
Ali
Syari’ati mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni
aspek kebenaran, kebijakan, dan keindahan. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran,
kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna) adalah manusia yang
memiliki otak briliyan sekaligus memiliki kelembutan hati.
6. Berjiwa
seimbang
Seimbang
antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhaniyah. Ini
berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan
syariat islam, terutama ibadah, zikir, tafakur, muhasabbah, dan seterusnya.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Nama lengkap al-Jilli adalah ‘Abdul Karim ibn Ibrahim ibn
Abdul Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud Al-Jili. Beliau lahir di jilan
(Gilan) tahun 767 H. bertepatan
dengan tahun 1365 M. Nama Al-Jili
diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Karya Al-jili yang paling terkenal adalah Al-Insan al-Kamil Fi Ma’rifah al-Awakhir wa
ak-Awail dan kitab
Al-Kahf wa al-Raqim Fi Syarh Bismillahi al-Rahman al-Rahim.
2.
Prinsip-prinsip ajaran Abd. Karim
al-Jilly menyangkut tiga aspek, yaitu: Tentang pengertian zat,
tentang masalah
roh, dan tentang Nur Muhammad. Selain dari ajaran tersebut, al-Jilly terkenal
pula sebagai pelopor dari ajaran
al-Insan al-Kamil.
3.
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu terdiri
dari dua kata: al-insan dan al-kamil. Secara harfiah al-insan
bararti manusia, dan al-kamil berarti yang sempurna.
4.
Disamping memodifikasi dan menyesuaikan konsep insan
kamil yang telah ada dengan prinsip-prinsip teologi, al-Jilli juga berusaha
memperjelas, merinci, ataupun menyederhanakan konsep insan kamil tersebut.
5. Al-Jilli merinci tiga martabat (peringkat) dalam proses
tajalli Illahi menjadi lima martabat, yaitu: Uluhiyah, ahadiyah, wahidiyah,
rahmaniyah, dan rububiyah.
6. Al-Jilli menyederhanakan 60 maqam insan kamil menjadi
7 maqam, yaitu : iman, islam, shaleh, ihsan, syahadah, shidqiyah,
dan qurbah.
7.
Menurut al-Jilli
insan kamil berkedudukan sebagai quthb (wali tingkat tertinggi) dan
sebagai khalifah Allah. Hal ini disebabkan: Karena ia sebagai wadah tajalli
Illahi yang paripurna, Memiliki pengetahuan yang tinggi, yakni pengetahuan
esoteric, dan Didukung oleh tujuh daya rohaniah yang dimilikinya, yaitu: qalb,
wahm, himmah, fikr, khayal, dan nafs.
8.
Ibn ‘Arabi
menyebutkan hanya ada satu model insan kamil, al-Jilli memperluasnya dengan
mengemukakan tiga model dalam tiga tingkatan, yaitu: Tingkat bidayah, tingkat
tawassuth, dan tingkat khitam
DAFTAR
PUSTAKA
al –Jili, Abd al-Karim. 1975. al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-I ‘l-awakhiri
wa ‘l-Awali. Beirut: Daar al-Fikr
Ali, Yunasril. 1997. Manusia Citra Illahi : Pengembangan konsep
Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jilli. Jakarta : Paramadina
Al-Qur’an al-Karim
Dr. Yunasril
Ali, Manusia Citra Illahi : Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh
al-Jilli, (Jakarta : Paramadina, 1997) h.212
Jamil, H. M. 2013. Akhlak Tasawuf. Ciputat:
referensi
Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
PPPTA IAIN Sumatera Utara.1983. Pengantar Ilmu Tasawuf. Medan
[1]
Q.S. al-Tin/95: 4-6
[2]
Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi : Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn
‘Arabi oleh al-Jilli, (Jakarta : Paramadina, 1997) cet. 1, h. 31
[3]
Ibid, h. 34
[4]
PPPTA IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: 1983) h. 86
[5]
H. M. Jamil, Akhlak Tasawuf, (Ciputat:
referensi, 2013 ) hal 353
[6]
Abd al-Karim al –Jili, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-I ‘l-awakhiri wa
‘l-Awali (Beirut:Daar al-Fikr, 1975), j. II, hal. 39.
[7]
Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi : Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn
‘Arabi oleh al-Jilli, (Jakarta : Paramadina, 1997) cet. 1, h. 35-36
[8]
PPPTA IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, h. 89
[9]
Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi : Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn
‘Arabi oleh al-Jilli, (Jakarta : Paramadina, 1997) h.111
[10]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) hlm. 262.
[11]
Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi : Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn
‘Arabi oleh al-Jilli, (Jakarta : Paramadina, 1997) h.212
[12]
Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi : Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn
‘Arabi oleh al-Jilli, (Jakarta : Paramadina, 1997) h.214
[14]
H. M. Jamil, Akhlak Tasawuf, (Ciputat:
referensi, 2013 ) hal 139
[16]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) hlm.
264-267
No comments:
Post a Comment