Monday 24 March 2014

MAKALAH TASAWUF



MAKALAH
Menganalisis konsep Insan Kamil menurut Abdul Karim al-Jilly serta menerapkan ajaran yang kompatebel dengan kekinian
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kajian tentang manusia merupakan obyek yang menarik dan tidak kunjung selesai untuk dibicarakan. Oleh sebab itu, dari kajian-kajian menyangkut obyek tersebut telah lahir beragam disiplin ilmu. Sekalipun demikian, anehnya, kajian itu senantiasa merupakan suatu misteri yang tidak pernah tuntas. Salah satu aspek kajian tentang manusaia yang menarik adalah menyangkut pencapaian kesempurnaan dirinya, kepuasan bathinnya, dan kehidupannya yang hangat dan bermakna.
Islam, melalui ayat-ayat al-Qur’an, telah mengisyaratkan tentang kesempurnaan diri manusia, seperti antara lain disebutkan, ”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik kejadian. Kemudian kami kembalikan ia ke derajat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan melakukan amal shaleh.”[1]
Kendati manusia memiliki potensi kesempurnaan sebagai gambaran dari kesempurnaan citra Illahi, tetapi kemudian, ketika ia aterjauh dari prototipe ketuhanan, maka kesempurnaan itu semakin berkurang. Untuk itu, jalan satu-satunya mencapai kesempurnaan itu ialah kembali kepada Tuhan dengan iman dan amal saleh. Kajian tentang upaya untuk kembali kepada Illahi, antara lain, terdapat dalam tasawuf, yang berpuncak pada doktrin insan kamil.

B.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup dan biografi spiritual Abd. Karim Al-Jilli?
2.      Bagaimana konsep insan kamil al-Jilli?
3.      Bagaimana menerapkannya di masa kini?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Spiritual Abdul Karim al-Jilly
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim ibn Ibrahim ibn Abdul Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud Al-Jili. Ia mendapatkan gelar kehormatan ”syaikh” yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu, ia juga mendapat gelar ”Quthb al-Din” (kutub / poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hierarki sufi. [2] Beliau lahir di jilan (Gilan), yaitu sebuah negeri di kawasan Baghdad bagian selatan laut Kasfia yang terletak di Asia Tengah pada awal Muharam tahun 767 H. bertepatan dengan tahun 1365 M. Namun para penulis berbeda pendapat tahun meninggalnya, ada yg berpendapat tahun 832 H/ 1428 M, ada yang berpendapat tahun 805 H/ 1403 M, ada yang berpendapat antara tahun 1406 M dan 1417 M dan ada juga yang berpendapat antara tahun 811 H dan 820 H.[3]
Nama Al-Jili diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India pada tahun 1387 M. Kemudian belajar tsawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri dan pimpinan tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal. Di samping itu, ia berguru pada Syekh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.[4]
Dalam kehidupan kerohanian ‘Abd. Karim al-Jilly terkenal sebagai seorang pembela dan penerus ajaran Muhyiddin Ibn al-‘Arabi dan Jalal ad-Din al-Rumi. ‘Abd. Karim al-Jilly merupakan seorang sufi yang kreatif, banyak tulisannya tentang tasawuf . Karya Al-jili yang paling terkenal adalah Al-Insan al-Kamil Fi Ma’rifah al-Awakhir wa ak-Awail yang menurutnya ditulis berdasarkan ilham dari Allah SWT. disamping itu ia juga menulis kitab Al-Kahf wa al-Raqim Fi Syarh Bismillahi al-Rahman al-Rahim dan sekitar 20 manuskrip tulisan tangan yang memuat pembelaannya terhadap konsep wahdat al-wujud Ibn Arabi.[5]
Tahun 790 H ia berada di Kusyi, India.[6] Tetapi sayang, ia tidak menjelaskan apa tujuannya ke India itu dan berapa lama ia disana. Ia hanya menceritakan pengalamannya bahwa ia menyaksikan orang yang merasa nikmat ketika lehernya terpenggal oleh pedang. Ketika berkunjung ke India ini, Al-Jili melihat tasawuf falsafi Ibn Arabi dan tarekat-tarekat antara lain Syisytiyah (didirikan oleh Mu’in al-Din al-Syisyti), Suhrawardiyah (didirikan oleh Abu Najib Al-Suhrawardi, dan Naqsyabandiyah (didirikan oleh Bahar al-Din Al-Naqsyabandi) berkembang dengan pesat.
Pada akhir tahun 799 H, ia berkunjung ke Makkah dalam rangka menunaikan ibadah haji, namun dalam kesempatan itu ia sempat pula melakukan tukar pikiran dengan ulama-ulama disana. Hal ini menandakan bahwa kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan melebihi kecintaannya terhadap hal-hal lain.[7]
Adapun  prinsip-prinsip ajaran Abd. Karim al-Jilly menyangkut tiga aspek, yaitu:
a.       Tentang pengertian zat
b.      Tentang masalah roh
c.       Tentang Nur Muhammad
Selain dari ajaran tersebut, al-Jilly terkenal pula sebagai pelopor  dari ajaran al-Insan al-Kamil, yaitu manusia yang sempurna. Menurut al-Jilly Muhammad SAW adalah al-Insan al-Kamil, karena beliau memiliki sifat al-haq (Tuhan) dan al-Khalq (makhluk) sekaligus. Dan sesungguhnya al-insan al-Kamil itu adalah ruh Muhammad , wali-wali, serta orang-orang saleh.[8]
B.     Pemikiran Abdul Karim al-Jilly tentang insan kamil
Istilah insan kamil muncul dalam literature islam pada abad ke-7 H / 13 M dan dipergunakan pertama kali oleh Ibn ‘Arabi. Kemudian menyebar melalui pengikut-pengikut Ibn ‘Arabi, seperti Shadr al-Din al-Qunawi, Jalal al-Din al-Rumi, dan Mahmud Sabistari. Istilah ini selanjutnya mendapat perhatian khusus dari al-Jilly, yang mengembangkan konsep tersebut dalam karya tersendiri al-Insan al-Kamil.[9]
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu terdiri dari dua kata: al-insan dan al-kamil. Secara harfiah al-insan bararti manusia, dan al-kamil berarti yang sempurna.
Insan kamil lebih ditunjukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah, dan yang lainnya yang bersifat batin.
Insan kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaninya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak islam. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia insan kamil. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat.[10] Al-Jili memiliki pandangan yang sama dengan Ibn Arabi mengenai hal diatas, walaupun demikian keduanya berbeda pendapat dalam hal teknis menyangkut proses munculnya insan kamil itu. Dengan kata lain, Al-Jili dan Ibn Arabi mempunyai kesamaan tentang eksistensi dari tajalli dan taraqqi, tetapi mempunyai persepsi yang berbeda dalam melihat proses terjadinya tajalli dan taraqqi tersebut.
Disamping memodifikasi dan menyesuaikan konsep insan kamil yang telah ada dengan prinsip-prinsip teologi, al-Jilli juga berusaha memperjelas, merinci, ataupun menyederhanakan konsep insan kamil tersebut, seperti terlihat pada pandangan di bawah ini[11]:
1.      Al-Jilli merinci tiga martabat (peringkat) dalam proses tajalli Illahi yang telah dikemukakan Ibn ‘Arabi menjadi lima martabat, yaitu martabat-martabat: Uluhiyah, ahadiyah, wahidiyah, rahmaniyah, dan rububiyah. Bahkan di bawah martabat-martabat tersebut ia menempatkan 35 martabat lagi, sehingga seluruhnya mencapai 40 martabat.
Menurut Al-Jili, tajalli Ilahi yang berlangsung secara terus menerus pada alam semesta terdiri atas lima martabat, yaitu : pertama, martabat uluhiyah. Yaitu, esensi dari dzat primordial, yang menjadi sumber dari Yang Wujud dan Yang ‘Adam, Yang Qodim dan Yang Hadits, Al-Haqq, dan Al-Khalq. Dikatakan oleh Al-Jili, bahwa martabat uluhiyah merupakan martabat yang tinggi dalam urutan tajalli Ilahi, karena didalamnya tercakup segenap realitas dari segala sesuatu. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan tajalli berikutnya, martabat uluhiyah merupakan sumber primer dari segalanya, baik Yang Wujud maupun Yang ‘Adam.
Pandangan ini berbeda dengan pandangan Ibn Arabi, yang meletakkan martabat ahadiyah sebagai peringkat pertama dalam proses tajalli Ilahi. Ahadiyah menurut Ibn Arabi, merupakan dzat murni, tidak berkorelasi dengan apapun, baik sifat maupun asma’. Dialah martabat tertinggi dalam proses tajalli Tuhan.
2.      Ibn ‘Arabi mengemukakan 60 maqam yang harus dijalani untuk mencapai peringkat insan kamil, maka al-Jilli menyederhanakannya menjadi 7 maqam, yaitu : iman, islam, shaleh, ihsan, syahadah, shidqiyah, dan qurbah.
3.      Menurut al-Jilli insan kamil berkedudukan sebagai quthb (wali tingkat tertinggi) dan sebagai khalifah Allah. Hal ini disebabkan:
a.       Karena ia sebagai wadah tajalli Illahi yang paripurna
b.      Memiliki pengetahuan yang tinggi, yakni pengetahuan esoteric, dan
c.       Didukung oleh tujuh daya rohaniah yang dimilikinya, yaitu: qalb (hati), wahm (estimasi), himmah (meditasi), fikr (pikiran), khayal (fantasi), dan nafs (jiwa), yang merupakan aspek-aspek dari hakikat Muhammad. Hal demikian berbeda dengan Ibn ‘Arabi yang hanya mengemukakan dua alasan pertama di atas.
4.      Ibn ‘Arabi menyebutkan hanya ada satu model insan kamil, al-Jilli memperluasnya dengan mengemukakan tiga model dalam tiga tingkatan, yaitu:
a.       Tingkat bidayah (permulaan), dimana seseorang mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Tuhan.
b.      Tingkat tawassuth (menengah), dimana seseorang tampil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan dan sebagai realitas kasih sayang Tuhan.
c.       Tingkat khitam (terakhir), dimana seseorang telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh.
Dari kajian di atas, terlihat bahwa al-jilli telah berupaya mengembangkan konsep insan kamil secara kreatif dan kritis. Dalam hal itu, ia berusaha melakukan modifikasi-modifikasi dan penyesuaian-penyesuaian ke arah prinsip-prinsip teologis serta memperjelas, merinci, dan juga menyederhanakan konsep insan kamil itu dengan upaya yang serius dan mendalam. Tetapi usahanya itu hanya terbatas pada pengembangan materi (isi) dari konsep yang telah ada itu, bukan menyangkut teori dasar yang melandasi konsep itu. Hal demikian dapat dimengerti, karena teori tersebut secara umum dapat diterima dalam tasawuf, sebab (menurut versi sufi) dapat dibenarkan oleh logika dan tidak bertentangan dengan kandungan Kitab Suci al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Adapun dalam hal isi konsep itu (khususnya) menurut versi mutakallimin) masih terdapat hal-hal yang dipandang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Oleh karena itu, al-Jilli berupaya semaksimal mungkin mengembangkan konsep insan kamil dari sisi isinya agar sesuai dengan ajaran islam yang diyakininya itu. Ini terlihat dari pernyataannya ketika mengantarkan karyanya al-Insan al-Kamil, “Sesungguhnya saya tidak menempatkan sesuatu di dalam kitab ini kecuali yang dikuatkan oleh Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW.”[12]
Menurut Al-jili, insan kamil adalah nuskhah  atau copy Tuhan, seperti disebutkan dalam hadis berikut:
خلق الله اد م على صورة الرحمن
      Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman.
Hadits lain adalah:           
خلق الله اد م على صورته
Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.
Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, dan mendengar. Manusia (Adam) pun memilki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan substansi, huwiyah Tuhan dihadapkan dengan huwiyah  Adam, Aniyah-Nya disandingkan dengan Aniyah Adam, dan zat-Nya dihadapkan pada zat Adam , dan akhirnya Adam berhadapan denga Tuhan dalam segala hakikat-Nya. Melalui konsep ini, kita memahami bahwa Adam, dilihat dari sisi penciptaannya, merupkan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaanya sebab pada dirinya terdapat sifat nama Ilahiah.
Al-jili berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil  sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya sebab sifat dan nama-nama tersebut tidak memilki tempat berwujud, melainkan insan kamil.
Lebih lanjut, Al-jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil  adalah bagaikan cermin yang seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya, kecuali dengan menggunakan cermin itu.
Demikian pula halnya dengan insan kamil. Ia tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat dirinya, kecuali melalui cermin insan kamil. Inilah maksud ayat berikut ini

  
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat (tugas-tugas keagamaan) kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh”(Q.S. Al-Ahzab: 72)
Lebih lanjut, al-Jili berkata bahwa duplikasi al-kamal (kesempurnaan) adalah sama semua dimilki oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan. Ketidaksempuranaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘ardhi, termasuk manusia yang berada dalam kandungan ibunya. Al-kamal  dalam konsep mungkin dimiliki oleh manusia secara professional (bi al-quwwah) dan mungkin pula secara aktual (bi al-fiil), seperti yang terdapat dalam para wali dan para nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. Intensitas al-akmal (yang paling sempurna) atau al-fadhil  (yang utama) dengan  al-afdhal (yang paling utama).
Insan kamil, menurut konsep al-Jili adalah perencanaan zat Allah (nuktah al-haqq) melalui proses empat tajalli  seperti tersebut diatas, sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun dalam diri Muhammad SAW.
Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jili dekat dengan konsep hulul al-Hallaj dan konsep ittihad  Ibn ‘Arabi, yaitu integrasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibn Arabi mentransfer konsep al-hulul­ al-Hallaj dalam paham ittihad  ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yang diliputi oleh Nur Muhammad SAW.[13]
Al-Insan al-Kamil, dalam konsep Al-Jili, merupakan pencerminan zat Allah sekaligus sebagai poros Maujudat, yang terhimpun sepenuhnya dalam diri Muhammad SAW. Meskipun Al-Jili membawa konsep kesatuan wujud, tetapi dia tetap menjalankan kewajiban yang ditetapkan syari’at seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya, bahkan menurutnya, semakin tinggi derajat seseorang, semakin banyak ibadah yang harus dilakukannya.[14]
Dengan demikian dari sudut pandang manusia, Tuhan merupakan cermin bagi manusia untuk melihat dirinya. Ia tidak mungkin melihat dirinya tanpa cermin itu. Sebaliknya, karena Tuhan mengharuskan diri-Nya agar sifat-sifat dan nama-nama-Nya tidak dilihat, Tuhan menciptakan insan kamil sebagai cermin bagi diri-Nya. Dari sini,nampak antaraa hubungan Tuhan dan Insan kamil.
Insan kamil bagi Al-Jili merupakan proses tempat beredarnya segala yang wujud (aflak al-wujud) dari awal sampai akhir. Dia adalah satu (wahid) sejak wujud untuk selamanya. Disamping itu, insan kamil dapat muncul dan menampakan dirinya dalam berbagai macam. Ia diberi  nama dengan nama yang tidak diberikan kepada orang lain. Nama aslinya Muhammad, nama kehormatannya Abu Al-Qasim, dan gelarnya Syamsu Ad-Din.
Dari uraian di atas, Al-jili menunjukan penghargaan dan penghormatan yang tinggi kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai insan kamil yang paling sempurna. Sesungguhnya beliau telah wafat, tetapi  nurnya akan tetap abadi dan mengambil bentuk pada diri orang-orang yang masih hidup. Ketika Nur Muhammad itu mengambil bentuk dan menampakan diri pada seseorang, ia dipanggil dengan nama yang sesuai dengan bentuk itu.
Untuk memenuhi hal ini Al-Jili mengungkapkan pengalamanya sendiri sebagai berikut, “Satu ketika aku bertemu dengan Nabi Muhammad dalam bentuk  syehku, yaitu Syaraf Ad-Din Ismail Al-Jabarti. Aku tidak tahu bahwa dia adalah Nabi Muhammad dan yang aku ketahui bahwa dia adalah syehku. Inilah satu penglihatan yang aku dapati di Zabid pada tahun 797.”
Makna yang terkandung dari peristiwa di atas bahwa Nabi Muhammad memiliki kemampuan mengambil bentuk dalam berbagai bentuk. Apabila nabi muncul dalam bentuk aslinya sebagaimana saat hidupnya, beliau dipanggil dengan nama Muhammad. Akan tetapi, bila beliau muncul dalam bentuk lain dan diketahui bahwa ia adalah Muhammad, ia dipanggil dengan nama bentuk itu. Nama yang dimaksud dalam konteks yang kedua ini adalah hakikat Muhammad.
Peristiwa lain yang dapat memperjelas makna di atas adalah bahwa suatu ketika Nabi Muhammad muncul dalam bentuk Syibli yang berkata kepada muridnya, “bersaksilah bahwa aku adalah utusan Allah.” Secara kebetulan, murid tersebut memilki ilmu kasyaf sehinnga dengan mudah dapat mengenalinya sebagai Nabi, lalu ia menjawab “Saya bersaksi bahwa Engkau utusan Allah.”
Bagaimana halnya dengan pertemuan lewat mimpi? Apakah ada perbedaan antara keduanya, yaitu antara pertemuan lewat mimpi dan pertemuan lewat mistik, yakni pendekatan tasawuf.
Menurut Al-Jili, ada perbedaan antara mimpi dan pertemuan mistik, yaitu bahwa dalam mimpi, Muhammad masuk dalam diri seseorang yang sedang tidur. Hal ini tentu akan membuatnya sadar akan hakikat Muhammad sehingga ia tidak dapat memperolehnya dan ketika orang itu bangun (sadar), lalu ia menafsirkan hakikat Muhammad itu sebagai hakikat yang tingkatannya sebatas mimpi saja. Sebaliknya, dalam pertemuan mistik langsung maka setelah melihatnya dalam diri, ia tidak boleh bertingkah laku di hadapannya sebagaimana tingkah laku sebelumnya.
Demikianlah yang dimaksud dalam pernyataan bahwa hati dapat menyerupai bentuk apa saja yang dikehendaki. Dalam hal ini, sunnah berlaku bahwa Nabi akan mengandalkan bentuk mereka dan hampir mencapai derajat kesempurnaan. Hal ini maksudnya adalah menempatkan Muhammad pada derajat yang tinggi di antara mereka dan dapat meluruskan kekeliruan mereka. Ini artinya bahwa dari luar mereka yang hampir sempurna tampak sebagai duta Muhammad, sedangkan dari dalam Muhammad sebagai esesnsi hakikat mereka.
C.    Ajaran yang kompatebel bagi kekinian dan penerapannya
Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang berupa stasiun-stasiun atau dalam istilah Arab disebut maqamat.
Sebagai seorang sufi, Al-Jili dengan mebawa filsafat insan kamil merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya disebut al-martabah atau jenjang atau tingkat. Tingkat-tingkat itu adalah:
1.      Islam
2.      Iman
3.      Shalah
4.      Ihsan
5.      Syahadah
6.      Shidiqqiyah
7.      Qurbah
Pertama, islam, yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam. Misalnya puasa, menurut Al-Jili, merupakan isyarat untuk menghindari tuntutan kemanusiaan agar si shaim memilki sifat ketuhanan, yaitu dengan cara mengosongkan jiwanya dari tuntutan-tuntutan kemanusiaan, maka terisilah jiwa oleh sifat-sifat ketuhanan.
Kedua, iman, yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam gaib dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi. Iman menunjukan sampainya hati mengetahui sesuatu yang jauh di luar jangkauan akal sebab sesuatu yang diketahui akal tidak selalu membawa kepada keimanan.
Ketiga, ash-shalah, yakni dengan maqam ini, seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja’. Tujuan ibadah pada maqam ini adalah mencapai nuqthah ilahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ia mencapai kasyaf, ia akan menaati syariat Tuhan dengan baik.
Keempat, ihsan, yakni maqam ini menunjukan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia akan merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, ridha, dan ikhlas.
Kelima, syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan, yaitu mahabah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi dalam dua tingkatan, yaitu mencapai mahabah kepada Tuhan tanpa pamrih, yang merupakan tingkat paling rendah, dan menyaksikan Tuhan pada semua makhluknya secara ‘ainul yaqin’, yang merupakan tingkat paling tinggi.
Keenam, shidiqqiyah, istilah yang menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat, yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan haqq al-yaqqin. Ketiga tingkat makrifat itu dialami seorang sufi secara bertahap. Jadi, menurut Al-Jilii, seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddiq akan menyaksikan hal-hal yang gaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat dirinya. Setelah mengalami fana’, ia memperoleh baqa ilahi. Jika telah baqa Tuhan, selanjutnya diikuti dengan menampakan nama-nama. Inilah batas pencapaian ilmu al-yaqin.
Selanjutnya, ketika penampakan sifat-sifat terjadi, akan diperoleh makrifat zat dari segi sifat. Hal tersebut berlangsung terus sampai mencapai makrifat zat dengan zat, ia mencoba melepaskan sifat-sifat Rububiyah sehingga akhirnya terhiasi dengan sifat-sifat dan nama Tuhan. Tingkat semacam inilah dinamakan haqq al-yaqin.
Ketujuh, qurbah, maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Demikianlah, maqam-maqam yang dirumuskan Al-Jili dalam upaya mendekati Tuhan. Namun, satu hal yang diketahui bahwa Al-Jili mengatakan, “Mengetahui zat yang Maha tinggi itu secara kasyaf ilahi, kamu di hadapan-Nya dan Dia di hadapanmu tanpa hulul dan ittihad. Sebab, hamba adalah hamba.Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya. Dengan pernyataan ini, dapat kita pahami bahwa sungguhpun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia tetap tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama-Nya.[15]
a.    Ciri-ciri Insan Kamil
1.    Berfungsi akalnya secara optimal
Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat Insan Kamil.
2.    Berfungsi Intuisinya
Intuisi ini dalam pandangan Ibnu Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.
3.    Mampu menciptakan budaya
Manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibnu Khaldun manusia adalah makhluk berpikir. Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya memmbuat kehidupannya sendiri tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini yang melahirkan peradaban.
4.    Menghiasi diri dengan sifat-sifat ketuhanan
Manusia yang dengan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada dirinya yang dapat mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain. Sebagai khalifah Allah dimuka bumi ia melaksanakan amanat Tuhan dengan melaksnakan perintah-Nya.
5.    Berakhlak mulia
Ali Syari’ati mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebijakan, dan keindahan. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna) adalah manusia yang memiliki otak briliyan sekaligus memiliki kelembutan hati.
6.    Berjiwa seimbang
Seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhaniyah. Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syariat islam, terutama ibadah, zikir, tafakur, muhasabbah, dan seterusnya.[16]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Nama lengkap al-Jilli adalah ‘Abdul Karim ibn Ibrahim ibn Abdul Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud Al-Jili. Beliau lahir di jilan (Gilan) tahun 767 H. bertepatan dengan tahun 1365 M. Nama Al-Jili diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Karya Al-jili yang paling terkenal adalah Al-Insan al-Kamil Fi Ma’rifah al-Awakhir wa ak-Awail dan  kitab Al-Kahf wa al-Raqim Fi Syarh Bismillahi al-Rahman al-Rahim.
2.      Prinsip-prinsip ajaran Abd. Karim al-Jilly menyangkut tiga aspek, yaitu: Tentang pengertian zat, tentang masalah roh, dan tentang Nur Muhammad. Selain dari ajaran tersebut, al-Jilly terkenal pula sebagai pelopor  dari ajaran al-Insan al-Kamil.
3.      Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu terdiri dari dua kata: al-insan dan al-kamil. Secara harfiah al-insan bararti manusia, dan al-kamil berarti yang sempurna.
4.      Disamping memodifikasi dan menyesuaikan konsep insan kamil yang telah ada dengan prinsip-prinsip teologi, al-Jilli juga berusaha memperjelas, merinci, ataupun menyederhanakan konsep insan kamil tersebut.
5.  Al-Jilli merinci tiga martabat (peringkat) dalam proses tajalli Illahi menjadi lima martabat, yaitu: Uluhiyah, ahadiyah, wahidiyah, rahmaniyah, dan rububiyah.
6.   Al-Jilli menyederhanakan 60 maqam insan kamil menjadi 7 maqam, yaitu : iman, islam, shaleh, ihsan, syahadah, shidqiyah, dan qurbah.
7.      Menurut al-Jilli insan kamil berkedudukan sebagai quthb (wali tingkat tertinggi) dan sebagai khalifah Allah. Hal ini disebabkan: Karena ia sebagai wadah tajalli Illahi yang paripurna, Memiliki pengetahuan yang tinggi, yakni pengetahuan esoteric, dan Didukung oleh tujuh daya rohaniah yang dimilikinya, yaitu: qalb, wahm, himmah, fikr, khayal, dan nafs.
8.      Ibn ‘Arabi menyebutkan hanya ada satu model insan kamil, al-Jilli memperluasnya dengan mengemukakan tiga model dalam tiga tingkatan, yaitu: Tingkat bidayah, tingkat tawassuth, dan tingkat khitam



DAFTAR PUSTAKA

al –Jili, Abd al-Karim. 1975.  al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-I ‘l-awakhiri wa ‘l-Awali. Beirut: Daar al-Fikr
Ali, Yunasril. 1997.  Manusia Citra Illahi : Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jilli. Jakarta : Paramadina
Al-Qur’an al-Karim
Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi : Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jilli, (Jakarta : Paramadina, 1997) h.212
Jamil, H. M. 2013. Akhlak Tasawuf. Ciputat: referensi
Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
PPPTA IAIN Sumatera Utara.1983.  Pengantar Ilmu Tasawuf. Medan



[1] Q.S. al-Tin/95: 4-6
[2] Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi : Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jilli, (Jakarta : Paramadina, 1997) cet. 1, h. 31
[3] Ibid, h. 34
[4] PPPTA IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: 1983) h. 86
[5] H. M. Jamil, Akhlak Tasawuf,  (Ciputat: referensi, 2013 ) hal 353
[6] Abd al-Karim al –Jili, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-I ‘l-awakhiri wa ‘l-Awali (Beirut:Daar al-Fikr, 1975), j. II, hal. 39.
[7] Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi : Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jilli, (Jakarta : Paramadina, 1997) cet. 1, h. 35-36
[8] PPPTA IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, h. 89
[9] Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi : Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jilli, (Jakarta : Paramadina, 1997) h.111
[10] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) hlm. 262.
[11] Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi : Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jilli, (Jakarta : Paramadina, 1997) h.212
[12] Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi : Pengembangan konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jilli, (Jakarta : Paramadina, 1997) h.214
[14] H. M. Jamil, Akhlak Tasawuf,  (Ciputat: referensi, 2013 ) hal 139
[15]  
[16] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) hlm. 264-267

No comments:

Post a Comment