oleh: Lia Cgs
Namamu
Adalah mantra yang kugumamkan
Setiap terang dan gulita
Tak sampai jua bisikku padamu
Gelap berlutut pada rembulan yang menyala
Kadang terbahak karena menelan cahayanya
Seperti bayangmu yang kadang menjelma
Dan sirna
Kupastikan sebuah ragu
Yang mendayung menuju muara asaku
bagaimana bisa sentuh lembutmu
Bersarang di hatiku yang gerimis?
Pulanglah...
Bawalah sepercik api beku itu
Buatlah api unggun dingin
Untuk teman tidurmu malam ini
Secara rahasia
Hembusan angin meniup serpihan kaca
Yang kau pecahkan kemarin
Dan menggores hatiku setitik-setitik
**
Di perempatan kedua
Kau sibuk menyapu jejakmu
Kau bilang biar aku tak temukan geranganmu
Tapi kau tak tahu
Aku telah mengikutimu
Sejak langkah pertamamu
Mengapa kau buramkan peta?
hingga sedikitpun aku
Tak mampu sentuh bayangmu
Di taman, di ujung jalan itu
Yang kau tanami bunga-bunga, layu
Kau menari, diiringi melodi hampa
Tapi kau tak tahu
Akulah yang menyanyikan
Senandung diam yang menggema
Dan selalu air mataku
Mengiringi irama tarianmu
Di pelataran wajahku
Hingga kau bosan
Berhenti
Dan benar-benar pergi
***
Seperti itulah
Aku tersesat diantara desakan napas
Yang menghimpit
Di celah paru-paru sempit
Jalanan ini berdebu
Dan cinta semakin tabu
Kelabu
Dan aku
Seperti gelap yang setia pada malam
Tetap di belakangmu
Mengikuti jejak
Dan aroma napasmu
Meski ke jurang yang paling rindu
Dan aku harus jatuh
Meremukkan tulang-tulang
Bahkan rusukku
Begitulah aku
Yang memilin tali
Lalu mengurai kembali
Derai air mata di sepanjang kenang
Ku yakin kau tak pernah lupa
Pernah menyimpan bulan gerhana
Di ruang tamu hatiku
Yang menjelma gulita
Namun tak perlu lampu pijar, pelita, bahkan seberkas cahaya
Mata ini telah terbiasa buta
Dan jejak napasmu
Selalu ketemukan di sepanjang jalan berdebu
***
Seperti itulah
Aku tersesat diantara desakan napas
Yang menghimpit
Di celah paru-paru sempit
Jalanan ini berdebu
Dan cinta semakin tabu
Kelabu
Dan aku
Seperti gelap yang setia pada malam
Tetap di belakangmu
Mengikuti jejak
Dan aroma napasmu
Meski ke jurang yang paling rindu
Dan aku harus jatuh
Meremukkan tulang-tulang
Bahkan rusukku
Begitulah aku
Yang memilin tali
Lalu mengurai kembali
Derai air mata di sepanjang kenang
Ku yakin kau tak pernah lupa
Pernah menyimpan bulan gerhana
Di ruang tamu hatiku
Yang menjelma gulita
Namun tak perlu lampu pijar, pelita, bahkan seberkas cahaya
Mata ini telah terbiasa buta
Dan jejak napasmu
Selalu ketemukan di sepanjang jalan berdebu
****
Alunan senandung diamku
Membuatku bermimpi lagi
Membayangkan matahari
Terbit di bulat mataku
Mungkin aku bisa menyinarimu
Hingga bayangmu berpijar
Melepas gulita yang kau tanam
Dan kau siram dengan keheningan
Aku telah berjuang
Untuk menggapaimu...
Kata-katamu masih menggantung
Di daun telingaku
Saat itu,
Matahari belum tergelincir
Kau bisikkan cinta samar
Yang masih erat kugenggam
Seperti oksigen
Yang tak sadar mengalir di bulir-bulir darah
Aku pura-pura tak tahu
Kau pasti kembali, kataku
Tapi katamu, kau tetap terlalu jauh
Dan aku harus sendiri
Bagaimana kalau aku mati?
Akankah kau kutemui?
atau kau mengutukku dengan api?
aku bersenandung lagi
Dan diamku menggema tak henti
Membuatku bermimpi lagi
Membayangkan matahari
Terbit di bulat mataku
Mungkin aku bisa menyinarimu
Hingga bayangmu berpijar
Melepas gulita yang kau tanam
Dan kau siram dengan keheningan
Aku telah berjuang
Untuk menggapaimu...
Kata-katamu masih menggantung
Di daun telingaku
Saat itu,
Matahari belum tergelincir
Kau bisikkan cinta samar
Yang masih erat kugenggam
Seperti oksigen
Yang tak sadar mengalir di bulir-bulir darah
Aku pura-pura tak tahu
Kau pasti kembali, kataku
Tapi katamu, kau tetap terlalu jauh
Dan aku harus sendiri
Bagaimana kalau aku mati?
Akankah kau kutemui?
atau kau mengutukku dengan api?
aku bersenandung lagi
Dan diamku menggema tak henti
Jakarta, 15.1.15
No comments:
Post a Comment