Tuesday 11 March 2014

Tazkiyatun nafs



TAZKIYATUN-NAFS
(Mujahadah dan Riyadhah)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah Swt dalam dua dimensi jiwa. Ia memiliki karakter, potensi, orientasi, dan kecenderungan yang sama untuk melakukan hal-hal positif dan negatif. Inilah salah satu ciri spesifik manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk lainnya sehingga manusia dikatakan sebagai makhluk alternatif. Artinya, manusia bisa menjadi baik dan tinggi derajatnya dihadapan Allah atau sebaliknya, ia pun bisa menjadi jahat dan jatuh terperosok pada porsi yang rendah dan buruk seperti hewan, bahkan lebih rendah dari hewan.[1]
Dua dimensi jiwa manusia, yaitu positif dan negatif senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi, dan berperang. Islam sebagai agama yang haq memberikan tuntunan kepada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memiliki dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan, tazkiyat atau penyucian jiwa, dan tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwa.[2]
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang tazkiyatun-nafs, khususnya yaitu mujahadah dan riyadhah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan tujuan tazkiyatun-nafs ?
2.      Apa pengertian Mujahadah an-Nafs ?
3.      Apa pengertian Riyadhah an-Nafs?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN TAZKIYATUN – NAFS
Tazkiyah secara etimologis mempunyai dua makna : penyucian dan pertumbuhan. Demikian pula maknanya secara istilah. Zakatun-nafsi artinya penyucian (tathahhur) jiwa dari segala penyakit dan cacat, merealisasikan (tahaqquq) berbagai maqam padanya, dan menjadikan asma’ dan sifat sebagai akhlaqnya (takhalluq). [3]
Tazkiyatun-nafs secara singkat berarti membersihkan jiwa dari kemusyrikan dan cabang-cabangnya, merealisasikan kesuciannya dengan tauhid dan cabang-cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah yang baik sebagai akhlaknya, disamping ‘ubudiyah yang sempurna kepada Allah dengan membebaskan diri dari pengakuan rububiyah. Semua itu melalui peneladanan kepada Rasulullah saw. [4]
Tazkiyah an-nafs (membersihkan jiwa) merupakan salah satu tugas yang diemban rasulullah saw. pengertian tersebut dapat dilihat dalam kitab-kitab tafsir. Sebagaimana Allah Berfirman dalam Surah Al-Jumu’ah :2


   
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”
Menurut Ibnu Abbas, kalimat Yuzakkihim berarti “membersihkan hati dengan iman.”[5] Menurut Imam Suyuthi, “mensucikan mereka dari kotoran-kotoran akidah dan kotoran-kotoran Jahiliyah”.[6] Sedangkan dari segi akhlak tasawuf ada para ahli yang mengartikan tazkiyatun-nafs dengan takhliyat al-nafs (mengosongkan diri dari akhlak tercela) dan tahliyat al-nafs (mengisinya dengan akhlak terpuji), dengan begitu orang mudah mendekatkan diri kepada Allah.[7]
Dengan demikian, pengertian tazkiyat al-nafs berhubungan erat dengan soal akhlak dan kejiwaan, serta dalam islam berfungsi sebagai pola pembentukan manusia yang berakhlak baik dan bertakwa kepada Allah. Karenanya, siapapun yang mengharapkan Allah dan hari akhir, mesti memperhatikan kebersihan jiwanya. Allah juga menjadikan kebahagiaan seorang hamba tergantung kepada tazkiyah an-nafs. Hal ini di sebutkan dalam al-Qur’an setelah disebutkannya sebelas sumpah secara beruntun. Suatu keistimewaan yang tidak dimiliki hal lain[8].


“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan bulan apabila mengiringinya. Dan siang apabila menampakkannya. Dan malam apabila menutupinya.[9] Dan langit serta pembinaannya. Dan bumi serta penghamparannya. Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. Asy-Syams:1-10)
Hal yang termasuk dalam tazkiyatun nafs adalah penyucian dari:
a.       Kufur, nifaq, kefasikan, dan bid’ah
b.      Kemusyrikan dan riya
c.       Cinta kedudukan dan kepemimpinan
d.      Kedengkian
e.       ‘ujub
f.       Kesombongan
g.      Kebakhilan
h.      Keterpedayaan
i.        Amarah yang zalim
j.        Cinta dunia
k.      Mengikuti hawa nafsu.[10]

Tahaqquq terdiri atas hal-hal berikut:
a.       Tauhid dan ubudiyah
b.      Ikhlas
c.       Shidiq kepada Allah
d.      Zuhud
e.       Tawakkal
f.       Mahabbatullah
g.      Takut dan harap
h.      Taqwa dan wara’
i.        Syukur
j.        Sabar, taslim dan ridha
k.      Muraqabah dan musyahadah (ihsan)
l.        Taubat terus-menerus. [11]
B.     Mujahadah
Mujâhadah menurut bahasa berasal dari kata Jahada, seakar dengan kata Jihad, artinya bersungguh-sungguh agar sampai kepada tujuan.[12] Secara lebih luas, mujâhadah  adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu (keinginan-keinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya jiwa menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa saja yang bersifat suci, sehingga ia berhak memperoleh pelbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya. Mujahadah bersighat isim maf’ul dari tsulatsi mazid karena menyatakan sebuah proses tanpa akhir, istilah dalam ilmu tashawuf selalu menggunakan isim maf’ul. Perbedaan antara mujahadah dan mujahid adalah terletak pada objek yang diperanginya. Para mujahid berjuang memerangi kafir yang jelas-jelas memusuhi secara nyata, sedangkan mujahadah berperang melawan hawa nafsu, jelas sangat sulit sekali, karena hawa nafsu berada di dalam diri kita.
Dengan demikian, mujâhadah merupakan tindakan perlawanan terhadap nafsu, sebagaimana usaha memerangi semua sifat dan perilaku buruk yang ditimbulkan oleh nafsu amarahnya, yang lazim disebut mujâhadah al-nafs.[13] Berkaitan dengan ini, Allah Swt.  berfirman,

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Ankabut : 69)
Dalam kaitan ini Imam Ibn al-Qayyim berkata: “Allah menggantungkan hidayah dengan laku  jihad. Maka orang yang paling sempurna hidayah (yang diperoleh)-nya adalah dia yang paling besar laku jihadnya. Jihad yang paling fardu adalah jihad melawan nafsu, melawan syahwat, melawan syetan, melawan rayuan duniawi. Siapa yang bersungguh-sungguh dalam jihad melawan keempat hal tersebut, Allah akan menunjukkan padanya jalan ridha-Nya, yang akan mengantarkannya ke pintu surga-Nya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan jihad, maka ia akan sepi dari hidayah…”
Al-Ghazali mengibaratkan manusia sebagai sebuah kerajaan. Dimana jiwa sebagai rajanya, wilayahnya adalah tubuh, serta alat indra dan anggota badan lainnya sebagai tentaranya. Akal sebagai wazir, serta hawa nafsu beserta sifat marah sebagi polisinya. Raja dan wazir selalu berusaha membawa manusia kejalan yang baik dan diridhoi Allah. Sebaliknya, hawa nafsu dan sifat marah selalu mengajak manusia ke jalan yang sesat dan dimurkai Allah. Agar tercipta ketenangan dan kebahagiaan dalam kerajaan (diri manusia), kekuasaan raja dan wazir harus berada diatas kekuasaan hawa Nafsu dan sifat marah. Kalau sebaliknya yang terjadi, pertanda kerajaan itu akan runtuh dan binasa.[14]
Menurut Al-Ghazali, Badan itu bukan tempatnya jiwa karena sesuatu yang bersifat jauhar (substansi, zat, hakikat) tidak mendiami suatu tempat tertentu. Badan itu adalah alat bagi jiwa, sedangkan badan tidak bisa memperalat jiwa. Karena jiwa bersifat baqa sedangkan badan bersifat fana.[15]
Kita telah mengetahui bahwa mengobati sakit tubuh adalah dengan mempertemukan sesuatu dengan lawannya. Demikian pula dalam penyakit hati. Hal itu berbeda untuk setiap individu, karena watak itu berbeda-beda.[16]
Dalam dunia tasawuf, kata jihad diartikan dengan memerangi hawa nafsu.  Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. bahwa memerangi hawa nafsu itu lebih berat dan lebih besar daripada memerangi orang-orang kafir.  Jika kita telusuri dari sudut pandang normatifnya, jelas karena agama sangat menganjurkan lelaku atau amaliah ini. Sampai-sampai, Nabi Saw menyebutnya sebagai jihad akbar (al-jihad al-akbar), yang nilainya lebih utama dibanding jihad memerangi orang-orang kafir (qital) yang disebut oleh beliau sebagai jihad kecil (al-jihad al-asghar).
Jika kita menilik secara hakiki, nafsu-diri, atau disebut sebagai hawa nafsu, merupakan “poros kejahatan” (ma’wa kulli syarrin). Karena, nafsu-diri memiliki kecenderungan untuk mencari pelbagai kesenangan, masa bodoh terhadap hak-hak yang musti ditunaikan, serta abai terhadap kewajiban-kewajiban. Siapa pun yang gemar menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya, maka sesungguhnya ia telah tertawan dan diperbudak oleh nafsunya itu. Inilah kenapa Nabi Saw menegaskan bahwa jihad melawan nafsu lebih dahsyat daripada jihad melawan musuh (qital). Sebabnya adalah, nafsu itu digemari, disenangi, dicintai, dan segala hal yang mengarah kepada nafsu pastilah menyenangkan. Sehingga, jihad melawan hawa nafsu adalah jihad melawan hal-hal yang kita senangi, yang kita cintai.  Sebaliknya, jihad melawan orang-orang kafir adalah jihad melawan sesuatu (manusia, makhluk) yang kita musuhi, kita benci. Bahkan Rasulullah s.a.w. setelah kembali dari satu peperangan besar bersabda kepada sahabat-sahabatnya:
“Kita ini kembali dari peperangan yang paling kecil, menuju peperangan yang lebih besar”[17]
Setelah Rasulullah s.a.w. ditanya sahabat, beliau menjawab bahwa peperangan yang lebih besar itu ialah memerangi hawa nafsu.  Dalam hadits yang lain pula, Rasulullah s.a.w menggambarkan bagaimana besarnya bahaya hawa nafsu:
“Bukanlah orang yang gagah berani itu lantaran dia cepat melompati musuhnya didalam pertempuran, tetapi orang yang berani ialah orang yang boleh menahan dirinya dari kemarahan”. (Hadits riwayat Abu Daud)
Rasulullah mengingatkan bahwa akhlak itu dapat diubah dengan tindakan. Maka hendaklah kita berusaha menundukkan kemarahan, syahwat, dan kejahatan. Semua sifat ini adalah dari petunjuk syariat. Jika kita melakukan hal itu, maka tujuan telah dicapai. Hal itu dilakukan dengan kesabaran atas sesuatu yang kita tidak senangi agar setelah itu menjadi kebiasaan. Rasulullah bersabda, “kebaikan itu adalah kebiasaan.” Barang siapa yang pada asal fitrahnya tidak ada, misalnya kedermawanan, maka biasakanlah hal itu walaupun dengan memaksakan diri, sehingga menjadi terbiasa. Seperti itu pula sifat-sifat yang lainnya diobati dengan kebalikannya hingga tercapai tujuan. Maka kelanggengan dalam beribadah dan mengingkari syahwat akan membaguskan rupa bathin dan diperoleh keridhaan Allah swt. Rasulullah Saw. bersabda, “ sembahlah Allah dengan kesenangan. Jika tidak mampu , maka lakukanlah dalam kesabaran terhadap yang engkau benci. Maka engkau memperoleh kebaikan. Pada permulaannya adalah sabar hingga menjadi senang, karena asal fitrah menuntut rupa bathin yang baik. Hal itu ditunjukkan dengan sabdanya, “satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipat,” karena ia sesuai dengan asal fitrah. [18]
Dalam memerangi nafsu manusia terbagi 3 golongan :
1.      Golongan yang tunduk mengikuti nafsu
Mereka hidup dengan kemaksiatan diatas muka bumi dan ingin hidup kekal didunia. Mereka adalah orang-orang kafir dan orang yang mengikuti mereka. Golongan ini lupa dan lalai (kebesaran dan nikmat) Allah, lalu Allah juga membiarkan mereka
Allah berfirman : 
 
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[19] dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. Al Jatsiyah : 23)
2.      Golongan yang memerangi dan bertarung menentang nafsu
Dalam menentang hawa nafsunya ada kalanya golongan ini mencapai kemenangan dan adakalanya mereka kalah. Namun apabila terlihat dalam kesalahan mereka akan segera bertaubat. Begitu juga bila mereka mlakukan maksiat mereka akan segera sadar dan menyesal serta memohon ampun kepada Allah
Allah berfirman :
š
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri,[20] mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Q.S. Ali Imron : 135)
3.      Golongan yang berada dalam genggaman setan
Inilah glongan yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW, dalam sabdanya : Artinya : “setiap anak adam (manusia) itu melakukan kesalahan, sebaik baiknya orang yang melakukan kesalahan (dosa) ialah mereka yang bertobat (HR Ahmad dan Tirmidzi)
C.    Riyadhah
Riyâdhah artinya “latihan”. Maksudnya adalah latihan rohaniah untuk menyucikan jiwa  dengan memerangi keinginan-keinginan jasad (badan). Proses yang dilakukan adalah dengan jalan melakukan pembersihan atau pengosongan jiwa dari segala sesuatu selain Allah, kemudian menghiasi jiwanya dengan zikir, ibadah, beramal saleh dan berakhlak mulia. Pekerjaan yang termasuk kedalam amalan riyâdhah adalah mengurangi makan, mengurangi tidur untuk salat malam, menghindari ucapan yang tidak berguna, dan berkhalwat yaitu menjauhi pergaulan dengan orang banyak diisi dengan ibadah, agar bisa terhindar dari perbuatan dosa.[21]
Tujuan riyâdhah bagi seorang sufi adalah untuk mengontrol diri, baik jiwanya maupun badannya, agar roh tetap suci.[22] Karena itu, riyâdhah haruslah dilakukan secara sungguh-sungguh dan penuh dengan kerelaan. Riyâdhah yang dilakukan dengan kesungguhan dapat menjaga seseorang dari berbuat kesalahan, baik terhadap manusia ataupun makhluk lainnya, terutama terhadap Allah Swt. Dan bagi seorang sufi riyâdhah merupakan sarana untuk mengantarkan dirinya lebih lanjut pada tingkat kesempurnaan, yaitu mencapai hakekat.[23]
Salah satu bagian yang terdapat tasawuf adalah riyadhah (latihan-latihan ibadah). Riyadhah yang biasa dilakukan antara lain:
1.      Bertobat. Ia harus menyesal atas dosa-dosanya yang lalu dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi sembari melafalkan dzikir dan wirid-wirid tertentu.
2.      Untuk memantapkan tobatnya ia harus zuhud. Ia mulai menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai serta fokus beribadah.
3.      Wara’. Ia harus menjauhkan dirinya dari perbuatan syubhat dan tidak memakan makanan atau minuman yang tidak jelas kedudukan halal-haramnya.
4.      faqir. Ia harus menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.
5.      Sabar. Bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Allah yang berat dan menjauhi larangan-larangan-Nya, tetapi juga sabar dalam menerima musibah berat yang ditimpakan Allah.
6.      Tawakal. Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari esok karena bagi seorang sufi cukup apa yang ada untuk hari ini karena esok belum tentu masih hidup.
7.      Ridha. Ia tidak menentang cobaan dari Allah, bahkan menerimanya dengan sepenuh hati. Karena itu, seorang sufi tidak menyimpan perasaan benci kepada siapa pun karena semua yang terjadi adalah bagian dari kehendak Allah.

Sebagaimana dikatakan di atas, mujâhadah dan riyâdhah yang diamalkan merupakan latihan rohaniah dalam rangka menyucikan jiwa (tazkiyyatun nafs), agar hati diliputi nur Ilahiah, tersingkapnya rahasia batin (mukâsyafah), merasakan nikmat dan lezatnya beribadah. Ini merupakan keadaan (hâl) bagi seseorang dalam mendekatkan dirinya kepada Allah Swt. Pencapaian tersebut tidak lepas dari jalan (tharîq) yang harus mereka lalui.  Karena syariat bagaikan pohon, tarekat bagaikan cabang, makrifat bagaikan daun, dan hakekat bagaikan buah”, demikian ungkap As-Syekh Abdul Qadir Jaelani.[24] Dalam menempuh jalan, diumpamakan cabang tersebut terdiri dari beberapa tingkatan (maqâmât) yang harus ditempuh satu demi satu, dan memerlukan waktu yang panjang dan berat, mereka akan mengalami berbagai keadaan batin yang disebut dengan ahwal. Jadi, maqâmât dan ahwâl merupakan tahap-tahap yang lazim dilalui oleh para sâlik menuju tujuan puncaknya, yaitu mencapai ma`rifatullâh (buah).



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tazkiyah secara etimologis yaitu penyucian dan pertumbuhan. secara istilah berarti membersihkan jiwa dari kemusyrikan dan cabang-cabangnya, merealisasikan kesuciannya dengan tauhid dan cabang-cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah yang baik sebagai akhlaknya, disamping ‘ubudiyah yang sempurna kepada Allah dengan membebaskan diri dari pengakuan rububiyah. Semua itu melalui peneladanan kepada Rasulullah saw.
Mujâhadah menurut bahasa berasal dari kata Jahada, seakar dengan kata Jihad, artinya bersungguh-sungguh agar sampai kepada tujuan. Secara lebih luas, mujâhadah  adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu (keinginan-keinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya jiwa menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa saja yang bersifat suci, sehingga ia berhak memperoleh pelbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya.
Riyâdhah artinya “latihan”. Maksudnya adalah latihan rohaniah untuk menyucikan jiwa  dengan memerangi keinginan-keinginan jasad (badan). Tujuan riyâdhah bagi seorang sufi adalah untuk mengontrol diri, baik jiwanya maupun badannya, agar roh tetap suci dan merupakan sarana untuk mengantarkan dirinya lebih lanjut pada tingkat kesempurnaan, yaitu mencapai hakekat.


B.      
DAFTAR PUSTAKA
Al Aziz, S., Moh. Saifulloh. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : Terbit Terang
Al-Ghazali.1980. Ihya Ulum Al-Din, Juz 8. Beirut : Dar al-Fikr
--------------,2008. Mutiara Ihya ‘Ulumuddin : Ringkasan yang Ditulis Oleh Sang Hujjatul Islam, Bandung: PT Mizan Pustaka
Al-Jailani, As-Syeikh Abdul Qadir.1996. Sirrur Asror, Terj. Suryalaya
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Al-Hambali, Ibnu Rajab.  Al-Ghazali, Imam.2004. Tazkiyatun Nafs : Konsep penyucian Jiwa Menurut Ulama’ Salaf. Solo : Pustaka Arafah
Asmaran,1994. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta : Raja Grafindo Persada[1] Ibid
Hawwa, Sa’id.1998. intisari ihya’ ‘ulumuddin Al-Ghazali  : Mensucikan Jiwa konsep tazkiyatun nafs terpadu . Rabbani Press
Jaelani, A.F. 2000. Penyucian Jiwa (tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental. Jakarta: Penerbit Amzah
Mustafa, Ibrahim, dkk., Al-Mu’jam al-Wasîth, Al-Da’wah, Cacgri-Istanbul, tth,
Suyuti, Achmad, 1996. Percik-Percik Kesufian. Jakarta : Pustaka Amani



[1] A.F. Jaelani, Penyucian Jiwa (tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Penerbit Amzah,2000), hal. 1
[2] Ibid, hal. 2
[3] Sa’id Hawwa, intisari ihya’ ‘ulumuddin Al-Ghazali  : Mensucikan Jiwa konsep tazkiyatun nafs terpadu (Rabbani Press, 1998), hal. 2
[4] Ibid, hal. 173
[5] Ibid, hal.45
[6] Ibid
[7] Ibid, hal.47
[8] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Ibnu Rajab Al-Hambali, Imam Al-Ghazali, Tazkiyatun Nafs : Konsep penyucian Jiwa Menurut Ulama’ Salaf, (Solo : Pustaka Arafah, 2004) hal.viii 
[9] Maksudnya: malam-malam yang gelap
[10] Sa’id Hawwa, intisari ihya’ ‘ulumuddin Al-Ghazali  : Mensucikan Jiwa konsep tazkiyatun nafs terpadu (Rabbani Press, 1998), hal. 180
[11] Ibid, hal. 314
[12] Mustafa, Ibrahim, dkk., Al-Mu’jam al-Wasîth, Al-Da’wah, Cacgri-Istanbul, tth, hal. 142.
[13] Suyuti, Achmad, Percik-Percik Kesufian, (Jakarta : Pustaka Amani, 1996), hal. 125.
[14] Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, Juz 8, (Beirut : Dar al-Fikr, 1980) hal. 11-12
[15] Ibid, hal 37
[16] Al-Ghazali, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin : Ringkasan yang Ditulis Oleh Sang Hujjatul Islam, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008) hal. 224
[17] Ibid, hal.222
[18] Ibid, hal. 223-224
[19] Maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah mengetahui bahwa Dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.
[20] Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.
[21] Ibid, hal.125-126
[22] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) hal. 17.
[23] Al Aziz, S., Moh. Saifulloh. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Terbit Terang, Surabaya, 1998, hal. 104
[24] Al-Jailani, As-Syeikh Abdul Qadir, Sirrur Asror, Terj. Suryalaya, 1996,   hal. 44

1 comment: