TAZKIYATUN-NAFS
(Mujahadah dan Riyadhah)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah Swt dalam dua dimensi jiwa. Ia
memiliki karakter, potensi, orientasi, dan kecenderungan yang sama untuk
melakukan hal-hal positif dan negatif. Inilah salah satu ciri spesifik manusia
yang membedakannya dari makhluk-makhluk lainnya sehingga manusia dikatakan
sebagai makhluk alternatif. Artinya, manusia bisa menjadi baik dan tinggi
derajatnya dihadapan Allah atau sebaliknya, ia pun bisa menjadi jahat dan jatuh
terperosok pada porsi yang rendah dan buruk seperti hewan, bahkan lebih rendah
dari hewan.[1]
Dua dimensi jiwa manusia, yaitu positif dan negatif senantiasa
saling menyaingi, mempengaruhi, dan berperang. Islam sebagai agama yang haq
memberikan tuntunan kepada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk
memiliki dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya
pengarahan, pemeliharaan, tazkiyat atau penyucian jiwa, dan tindakan preventif
dari hal-hal yang bisa mengotori jiwa.[2]
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang tazkiyatun-nafs,
khususnya yaitu mujahadah dan riyadhah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dan tujuan tazkiyatun-nafs ?
2.
Apa
pengertian Mujahadah an-Nafs ?
3.
Apa
pengertian Riyadhah an-Nafs?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN TAZKIYATUN – NAFS
Tazkiyah secara etimologis mempunyai dua makna : penyucian dan
pertumbuhan. Demikian pula maknanya secara istilah. Zakatun-nafsi artinya
penyucian (tathahhur) jiwa dari segala penyakit dan cacat, merealisasikan
(tahaqquq) berbagai maqam padanya, dan menjadikan asma’ dan sifat sebagai
akhlaqnya (takhalluq). [3]
Tazkiyatun-nafs secara singkat berarti membersihkan jiwa dari
kemusyrikan dan cabang-cabangnya, merealisasikan kesuciannya dengan tauhid dan
cabang-cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah yang baik sebagai akhlaknya,
disamping ‘ubudiyah yang sempurna kepada Allah dengan membebaskan diri
dari pengakuan rububiyah. Semua itu melalui peneladanan kepada Rasulullah saw. [4]
Tazkiyah an-nafs (membersihkan jiwa) merupakan salah satu tugas
yang diemban rasulullah saw. pengertian tersebut dapat dilihat dalam kitab-kitab
tafsir. Sebagaimana Allah Berfirman dalam Surah Al-Jumu’ah :2
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul
di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”
Menurut Ibnu Abbas, kalimat Yuzakkihim
berarti “membersihkan hati dengan iman.”[5]
Menurut Imam Suyuthi, “mensucikan mereka dari kotoran-kotoran akidah dan
kotoran-kotoran Jahiliyah”.[6]
Sedangkan dari segi akhlak tasawuf ada para ahli yang mengartikan
tazkiyatun-nafs dengan takhliyat al-nafs (mengosongkan diri dari akhlak
tercela) dan tahliyat al-nafs (mengisinya dengan akhlak terpuji), dengan begitu
orang mudah mendekatkan diri kepada Allah.[7]
Dengan demikian, pengertian tazkiyat al-nafs
berhubungan erat dengan soal akhlak dan kejiwaan, serta dalam islam berfungsi
sebagai pola pembentukan manusia yang berakhlak baik dan bertakwa kepada Allah. Karenanya, siapapun
yang mengharapkan Allah dan hari akhir, mesti memperhatikan kebersihan jiwanya.
Allah juga menjadikan kebahagiaan seorang hamba tergantung kepada tazkiyah
an-nafs. Hal ini di sebutkan dalam al-Qur’an setelah disebutkannya sebelas
sumpah secara beruntun. Suatu keistimewaan yang tidak dimiliki hal lain[8].
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan bulan apabila
mengiringinya. Dan siang apabila menampakkannya. Dan malam apabila menutupinya.[9]
Dan langit serta pembinaannya. Dan bumi serta penghamparannya. Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syams:1-10)
Hal yang termasuk
dalam tazkiyatun nafs adalah penyucian dari:
a.
Kufur, nifaq, kefasikan, dan bid’ah
b.
Kemusyrikan dan riya
c.
Cinta kedudukan dan kepemimpinan
d.
Kedengkian
e.
‘ujub
f.
Kesombongan
|
g.
Kebakhilan
h.
Keterpedayaan
i.
Amarah yang zalim
j.
Cinta dunia
k.
Mengikuti hawa nafsu.[10]
|
Tahaqquq terdiri
atas hal-hal berikut:
a.
Tauhid dan ubudiyah
b.
Ikhlas
c.
Shidiq kepada Allah
d.
Zuhud
e.
Tawakkal
f.
Mahabbatullah
|
g.
Takut dan harap
h.
Taqwa dan wara’
i.
Syukur
j.
Sabar, taslim dan ridha
k.
Muraqabah dan musyahadah (ihsan)
l.
Taubat terus-menerus. [11]
|
B.
Mujahadah
Mujâhadah menurut bahasa
berasal dari kata Jahada, seakar dengan kata Jihad, artinya
bersungguh-sungguh agar sampai kepada tujuan.[12]
Secara lebih luas, mujâhadah
adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu
(keinginan-keinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya jiwa menjadi
suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa saja yang bersifat
suci, sehingga ia berhak memperoleh pelbagai pengetahuan yang hakiki tentang
Allah dan kebesaran-Nya. Mujahadah bersighat isim maf’ul dari tsulatsi mazid
karena menyatakan sebuah proses tanpa akhir, istilah dalam ilmu tashawuf selalu
menggunakan isim maf’ul. Perbedaan antara mujahadah dan mujahid adalah terletak
pada objek yang diperanginya. Para mujahid berjuang memerangi kafir yang
jelas-jelas memusuhi secara nyata, sedangkan mujahadah berperang melawan hawa
nafsu, jelas sangat sulit sekali, karena hawa nafsu berada di dalam diri kita.
Dengan demikian, mujâhadah merupakan
tindakan perlawanan terhadap nafsu, sebagaimana usaha memerangi semua sifat dan
perilaku buruk yang ditimbulkan oleh nafsu amarahnya, yang lazim disebut
mujâhadah al-nafs.[13] Berkaitan
dengan ini, Allah Swt. berfirman,
“ Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S.
Al-Ankabut : 69)
Dalam kaitan ini Imam Ibn al-Qayyim berkata:
“Allah menggantungkan hidayah dengan laku jihad. Maka orang yang paling sempurna hidayah
(yang diperoleh)-nya adalah dia yang paling besar laku jihadnya. Jihad yang
paling fardu adalah jihad melawan nafsu, melawan syahwat, melawan syetan,
melawan rayuan duniawi. Siapa yang bersungguh-sungguh dalam jihad melawan
keempat hal tersebut, Allah akan menunjukkan padanya jalan ridha-Nya, yang akan
mengantarkannya ke pintu surga-Nya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan jihad,
maka ia akan sepi dari hidayah…”
Al-Ghazali
mengibaratkan manusia sebagai sebuah kerajaan. Dimana jiwa sebagai rajanya,
wilayahnya adalah tubuh, serta alat indra dan anggota badan lainnya sebagai
tentaranya. Akal sebagai wazir, serta hawa nafsu beserta sifat marah sebagi
polisinya. Raja dan wazir selalu berusaha membawa manusia kejalan yang baik dan
diridhoi Allah. Sebaliknya, hawa nafsu dan sifat marah selalu mengajak manusia
ke jalan yang sesat dan dimurkai Allah. Agar tercipta ketenangan dan
kebahagiaan dalam kerajaan (diri manusia), kekuasaan raja dan wazir harus
berada diatas kekuasaan hawa Nafsu dan sifat marah. Kalau sebaliknya yang
terjadi, pertanda kerajaan itu akan runtuh dan binasa.[14]
Menurut
Al-Ghazali, Badan itu bukan tempatnya jiwa karena sesuatu yang bersifat jauhar
(substansi, zat, hakikat) tidak mendiami suatu tempat tertentu. Badan itu
adalah alat bagi jiwa, sedangkan badan tidak bisa memperalat jiwa. Karena jiwa
bersifat baqa sedangkan badan bersifat fana.[15]
Kita telah mengetahui bahwa mengobati sakit tubuh adalah dengan
mempertemukan sesuatu dengan lawannya. Demikian pula dalam penyakit hati. Hal
itu berbeda untuk setiap individu, karena watak itu berbeda-beda.[16]
Dalam dunia
tasawuf, kata jihad diartikan dengan memerangi hawa nafsu. Sebagaimana
sabda Rasulullah s.a.w. bahwa memerangi hawa nafsu itu lebih berat dan lebih besar
daripada memerangi orang-orang kafir. Jika kita telusuri dari sudut pandang
normatifnya, jelas karena agama sangat menganjurkan lelaku atau amaliah ini.
Sampai-sampai, Nabi Saw menyebutnya sebagai jihad akbar (al-jihad al-akbar),
yang nilainya lebih utama dibanding jihad memerangi orang-orang kafir (qital)
yang disebut oleh beliau sebagai jihad kecil (al-jihad al-asghar).
Jika kita menilik secara hakiki, nafsu-diri,
atau disebut sebagai hawa nafsu, merupakan “poros kejahatan” (ma’wa kulli
syarrin). Karena, nafsu-diri memiliki kecenderungan untuk mencari pelbagai
kesenangan, masa bodoh terhadap hak-hak yang musti ditunaikan, serta abai
terhadap kewajiban-kewajiban. Siapa pun yang gemar menuruti apa saja yang
diinginkan oleh hawa nafsunya, maka sesungguhnya ia telah tertawan dan
diperbudak oleh nafsunya itu. Inilah kenapa Nabi Saw menegaskan bahwa jihad
melawan nafsu lebih dahsyat daripada jihad melawan musuh (qital). Sebabnya
adalah, nafsu itu digemari, disenangi, dicintai, dan segala hal yang mengarah kepada
nafsu pastilah menyenangkan. Sehingga, jihad melawan hawa nafsu adalah jihad
melawan hal-hal yang kita senangi, yang kita cintai. Sebaliknya, jihad melawan orang-orang kafir
adalah jihad melawan sesuatu (manusia, makhluk) yang kita musuhi, kita benci. Bahkan Rasulullah s.a.w. setelah kembali dari satu peperangan
besar bersabda kepada sahabat-sahabatnya:
“Kita ini kembali dari peperangan yang paling kecil, menuju peperangan
yang lebih besar”[17]
Setelah
Rasulullah s.a.w. ditanya sahabat, beliau menjawab bahwa peperangan yang lebih
besar itu ialah memerangi hawa nafsu. Dalam hadits yang lain pula,
Rasulullah s.a.w menggambarkan bagaimana besarnya bahaya hawa nafsu:
“Bukanlah orang yang gagah berani itu lantaran dia cepat melompati
musuhnya didalam pertempuran, tetapi orang yang berani ialah orang yang boleh menahan
dirinya dari kemarahan”. (Hadits riwayat
Abu Daud)
Rasulullah mengingatkan bahwa akhlak itu dapat diubah dengan
tindakan. Maka hendaklah kita berusaha menundukkan kemarahan, syahwat, dan
kejahatan. Semua sifat ini adalah dari petunjuk syariat. Jika kita melakukan
hal itu, maka tujuan telah dicapai. Hal itu dilakukan dengan kesabaran atas
sesuatu yang kita tidak senangi agar setelah itu menjadi kebiasaan. Rasulullah
bersabda, “kebaikan itu adalah kebiasaan.” Barang siapa yang pada asal
fitrahnya tidak ada, misalnya kedermawanan, maka biasakanlah hal itu walaupun
dengan memaksakan diri, sehingga menjadi terbiasa. Seperti itu pula sifat-sifat
yang lainnya diobati dengan kebalikannya hingga tercapai tujuan. Maka
kelanggengan dalam beribadah dan mengingkari syahwat akan membaguskan rupa
bathin dan diperoleh keridhaan Allah swt. Rasulullah Saw. bersabda, “ sembahlah
Allah dengan kesenangan. Jika tidak mampu , maka lakukanlah dalam kesabaran
terhadap yang engkau benci. Maka engkau memperoleh kebaikan. Pada permulaannya adalah sabar hingga
menjadi senang, karena asal fitrah menuntut rupa bathin yang baik. Hal itu
ditunjukkan dengan sabdanya, “satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali
lipat,” karena ia sesuai dengan asal fitrah. [18]
Dalam memerangi
nafsu manusia terbagi 3 golongan :
1.
Golongan
yang tunduk mengikuti nafsu
Mereka hidup dengan kemaksiatan diatas muka bumi dan ingin hidup
kekal didunia. Mereka adalah orang-orang kafir dan orang yang mengikuti mereka.
Golongan ini lupa dan lalai (kebesaran dan nikmat) Allah, lalu Allah juga
membiarkan mereka
Allah berfirman :
“Maka pernahkah kamu
melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah
membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[19]
dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan
atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. Al Jatsiyah : 23)
2.
Golongan
yang memerangi dan bertarung menentang nafsu
Dalam menentang hawa nafsunya ada kalanya golongan ini mencapai
kemenangan dan adakalanya mereka kalah. Namun apabila terlihat dalam kesalahan
mereka akan segera bertaubat. Begitu juga bila mereka mlakukan maksiat mereka
akan segera sadar dan menyesal serta memohon ampun kepada Allah
Allah berfirman :
“Dan (juga) orang-orang
yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri,[20]
mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa
lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Q.S. Ali Imron : 135)
3.
Golongan
yang berada dalam genggaman setan
Inilah glongan yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW, dalam sabdanya
: Artinya : “setiap anak adam (manusia) itu melakukan kesalahan, sebaik baiknya
orang yang melakukan kesalahan (dosa) ialah mereka yang bertobat (HR Ahmad dan
Tirmidzi)
C.
Riyadhah
Riyâdhah artinya
“latihan”. Maksudnya adalah latihan rohaniah untuk menyucikan jiwa dengan memerangi keinginan-keinginan jasad (badan). Proses yang dilakukan
adalah dengan jalan melakukan pembersihan atau pengosongan jiwa dari segala
sesuatu selain Allah, kemudian menghiasi jiwanya dengan zikir, ibadah, beramal
saleh dan berakhlak mulia. Pekerjaan yang termasuk kedalam amalan riyâdhah
adalah mengurangi makan, mengurangi tidur untuk salat malam, menghindari ucapan
yang tidak berguna, dan berkhalwat yaitu menjauhi pergaulan dengan orang
banyak diisi dengan ibadah, agar bisa terhindar dari perbuatan dosa.[21]
Tujuan riyâdhah bagi seorang sufi adalah untuk
mengontrol diri, baik jiwanya maupun badannya, agar roh tetap suci.[22]
Karena itu, riyâdhah haruslah
dilakukan secara sungguh-sungguh dan penuh dengan kerelaan. Riyâdhah
yang dilakukan dengan kesungguhan dapat menjaga seseorang dari berbuat
kesalahan, baik terhadap manusia ataupun makhluk lainnya, terutama terhadap
Allah Swt. Dan bagi seorang sufi riyâdhah
merupakan sarana untuk mengantarkan dirinya lebih lanjut pada tingkat
kesempurnaan, yaitu mencapai hakekat.[23]
Salah satu
bagian yang terdapat tasawuf adalah riyadhah (latihan-latihan ibadah).
Riyadhah yang biasa dilakukan antara lain:
1.
Bertobat. Ia harus menyesal atas dosa-dosanya yang lalu dan
betul-betul tidak berbuat dosa lagi sembari melafalkan dzikir dan wirid-wirid
tertentu.
2.
Untuk memantapkan tobatnya ia harus zuhud. Ia mulai menjauhkan diri
dari dunia materi dan dunia ramai serta fokus beribadah.
3.
Wara’. Ia harus menjauhkan
dirinya dari perbuatan syubhat dan tidak memakan makanan atau minuman
yang tidak jelas kedudukan halal-haramnya.
4.
faqir. Ia harus menjalani hidup
kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya
untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.
5.
Sabar. Bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Allah yang
berat dan menjauhi larangan-larangan-Nya, tetapi juga sabar dalam menerima
musibah berat yang ditimpakan Allah.
6.
Tawakal. Ia menyerahkan diri
sepenuhnya kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari esok karena bagi
seorang sufi cukup apa yang ada untuk hari ini karena esok belum tentu masih hidup.
7.
Ridha. Ia tidak menentang
cobaan dari Allah, bahkan menerimanya dengan sepenuh hati. Karena itu, seorang
sufi tidak menyimpan perasaan benci kepada siapa pun karena semua yang terjadi
adalah bagian dari kehendak Allah.
Sebagaimana dikatakan di atas, mujâhadah dan riyâdhah yang diamalkan merupakan
latihan rohaniah dalam rangka menyucikan jiwa (tazkiyyatun nafs), agar
hati diliputi nur Ilahiah, tersingkapnya rahasia batin (mukâsyafah),
merasakan nikmat dan lezatnya beribadah. Ini merupakan keadaan (hâl) bagi seseorang dalam
mendekatkan dirinya kepada Allah Swt. Pencapaian tersebut tidak lepas dari
jalan (tharîq) yang harus mereka lalui.
Karena syariat bagaikan pohon, tarekat bagaikan cabang, makrifat
bagaikan daun, dan hakekat bagaikan buah”, demikian ungkap As-Syekh
Abdul Qadir Jaelani.[24] Dalam
menempuh jalan, diumpamakan cabang tersebut terdiri dari beberapa tingkatan (maqâmât) yang harus ditempuh satu demi satu,
dan memerlukan waktu yang panjang dan berat, mereka akan mengalami berbagai
keadaan batin yang disebut dengan ahwal. Jadi, maqâmât dan ahwâl
merupakan tahap-tahap yang lazim dilalui oleh para sâlik menuju tujuan puncaknya, yaitu mencapai ma`rifatullâh
(buah).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tazkiyah secara etimologis yaitu penyucian dan pertumbuhan. secara
istilah berarti membersihkan jiwa dari kemusyrikan dan cabang-cabangnya,
merealisasikan kesuciannya dengan tauhid dan cabang-cabangnya, dan menjadikan
nama-nama Allah yang baik sebagai akhlaknya, disamping ‘ubudiyah yang
sempurna kepada Allah dengan membebaskan diri dari pengakuan rububiyah. Semua
itu melalui peneladanan kepada Rasulullah saw.
Mujâhadah menurut bahasa
berasal dari kata Jahada, seakar dengan kata Jihad, artinya
bersungguh-sungguh agar sampai kepada tujuan. Secara lebih luas, mujâhadah adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam
memerangi hawa nafsu (keinginan-keinginan) serta segala macam ambisi pribadi
supaya jiwa menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa
saja yang bersifat suci, sehingga ia berhak memperoleh pelbagai pengetahuan
yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya.
Riyâdhah artinya
“latihan”. Maksudnya adalah latihan rohaniah untuk menyucikan jiwa dengan memerangi keinginan-keinginan jasad (badan). Tujuan riyâdhah bagi seorang sufi adalah untuk
mengontrol diri, baik jiwanya maupun badannya, agar roh tetap suci dan
merupakan sarana untuk mengantarkan dirinya lebih lanjut pada tingkat
kesempurnaan, yaitu mencapai hakekat.
B.
DAFTAR PUSTAKA
Al Aziz, S., Moh. Saifulloh. 1998. Risalah
Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : Terbit Terang
Al-Ghazali.1980.
Ihya Ulum Al-Din, Juz 8. Beirut : Dar al-Fikr
--------------,2008. Mutiara Ihya
‘Ulumuddin : Ringkasan yang Ditulis Oleh Sang Hujjatul Islam, Bandung: PT
Mizan Pustaka
Al-Jailani, As-Syeikh Abdul
Qadir.1996. Sirrur Asror, Terj. Suryalaya
Al-Jauziyyah, Ibnu
Qayyim. Al-Hambali, Ibnu Rajab. Al-Ghazali, Imam.2004. Tazkiyatun Nafs :
Konsep penyucian Jiwa Menurut Ulama’ Salaf. Solo : Pustaka Arafah
Asmaran,1994.
Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta : Raja Grafindo Persada[1] Ibid
Hawwa, Sa’id.1998. intisari ihya’
‘ulumuddin Al-Ghazali : Mensucikan Jiwa
konsep tazkiyatun nafs terpadu . Rabbani Press
Jaelani, A.F. 2000. Penyucian
Jiwa (tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental. Jakarta: Penerbit Amzah
Mustafa,
Ibrahim, dkk., Al-Mu’jam al-Wasîth, Al-Da’wah, Cacgri-Istanbul, tth,
Suyuti,
Achmad, 1996. Percik-Percik Kesufian. Jakarta : Pustaka Amani
[1] A.F. Jaelani, Penyucian Jiwa (tazkiyat al-Nafs) dan
Kesehatan Mental, (Jakarta: Penerbit Amzah,2000), hal. 1
[2]
Ibid, hal. 2
[3] Sa’id Hawwa, intisari ihya’ ‘ulumuddin
Al-Ghazali : Mensucikan Jiwa konsep
tazkiyatun nafs terpadu (Rabbani Press, 1998), hal. 2
[4]
Ibid, hal. 173
[5]
Ibid, hal.45
[6]
Ibid
[7]
Ibid, hal.47
[8] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Ibnu Rajab
Al-Hambali, Imam Al-Ghazali, Tazkiyatun Nafs : Konsep penyucian Jiwa Menurut
Ulama’ Salaf, (Solo : Pustaka Arafah, 2004) hal.viii
[9]
Maksudnya:
malam-malam yang gelap
[10]
Sa’id Hawwa, intisari ihya’ ‘ulumuddin Al-Ghazali : Mensucikan Jiwa konsep tazkiyatun nafs
terpadu (Rabbani Press, 1998), hal. 180
[11]
Ibid, hal. 314
[12]
Mustafa, Ibrahim, dkk., Al-Mu’jam al-Wasîth, Al-Da’wah, Cacgri-Istanbul,
tth, hal. 142.
[13]
Suyuti, Achmad, Percik-Percik Kesufian, (Jakarta : Pustaka Amani, 1996),
hal. 125.
[14]
Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, Juz 8, (Beirut : Dar al-Fikr, 1980) hal.
11-12
[15]
Ibid, hal 37
[16] Al-Ghazali, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin :
Ringkasan yang Ditulis Oleh Sang Hujjatul Islam, (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2008) hal. 224
[17]
Ibid, hal.222
[18]
Ibid, hal. 223-224
[19] Maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah
mengetahui bahwa Dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.
[20]
Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana
mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina,
riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya
menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.
[21]
Ibid, hal.125-126
[22]
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1994) hal. 17.
[23]
Al Aziz, S., Moh. Saifulloh. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Terbit
Terang, Surabaya, 1998, hal. 104
[24]
Al-Jailani, As-Syeikh Abdul Qadir, Sirrur Asror, Terj. Suryalaya,
1996, hal. 44
terima kasih atas perkongsian.
ReplyDelete