Tuesday, 11 March 2014

ulumul qur'an



RANGKUMAN ULUMUL QURAN
Nama              : Lia Herliawati
NIM                : 1112011000030
Kelas               : 2.A
A.    Al-Quran dan Wahyu
1.      Keutamaan Al-Quran dan Orang yang Mempelajarinya serta Mengajarkannya
Quran adalah risalah Allah kepada manusia semuanya. Maka tidaklah aneh apabila Qur’an dapat memenuhi semua tuntutan kemanusiaan berdasarkan asas-asas pertama konsep agama samawi. Rasulullah juga telah menantang orang-orang Arab dengan Qur’an, padahal Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka dan merekapun ahli dalam bahasa itu dan retorikanya. Namun ternyata mereka tidak mampu membuat apapun seperti Qur’an, atau membuat sepuluh surah saja, bahkan satu surah pun seperti Qur’an. Maka terbuktilah kemukjizatan Qur’an dan terbukti pula kerasulan Muhammad. Allah telah menjaganya dan menjaga pula penyampaiannya yang beruntun, sehingga tak ada penyimpangan atau perubahan apapun.
Keistimewaan yang demikian ini tidak dimiliki oleh kitab-kitab yang terdahulu, karena kitab-kitab itu diperuntukkan bagi satu waktu tertentu. Dengan keistimewaan itu Qur’an memecahkan problem-problem kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Mahabijaksana dan Maha terpuji.[1]
2.      Pengertian Al-Quran Menurut Bahasa dan Istilah
Al-Qur’an dikenal secara umum berasal dari bentuk kata Masdar dari Qara’a.[2] Qara’a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, Qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam satu ucapan yang tersusun rapih. Qur’an pada mulanya seperti Qira’ah, yaitu masdar dari kata Qara’a, Qira’atan, Qur’anan. Allah berfirman:
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”[3]
Para ulama berbeda pendapat mengenai lafadz al-Qur’an. Sebagian berpendapat, penulisan lafadz tersebut dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an), ulama yang mengemukakan pendapat ini diantaranya adalah az-Zajjaj dan al-Lihyani[4]. Pendapat lain mengatakan penulisannya tanpa dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an) ulama yang mengemukakan pendapat ini adalah asy-Syafi’i, al-Farra, dan al-Asy’ari.[5]
3.      Nama-Nama Al-Quran
Allah menamakan Quran dengan beberapa nama, di antaranya :
a.       Quran
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”( Al-Israa’: 9 )
b.      Kitab
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka Apakah kamu tiada memahaminya?” ( Al-Anbiyaa : 10 )
c.       Furqon

“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” ( Al-Furqan : 1 )
d.      Zikr
  
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” ( Al-Hijr : 9 )
e.       Tanzil
 
“dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam” ( Asy-Syuara : 192 )
4.      Sifat-Sifat Al-Quran
Allah telah melukiskan Quran dengan beberapa sifat, di antaranya :
a.       Nur ( cahaya )
b.      Huda ( petunjuk )
c.       Syifa ( obat )
d.      Rahmah ( rahmat )
e.       Mau’ijah ( nasihat )
f.       Mubin ( yang menerangkan )
g.      Mubarak ( yang diberkati )
h.      Busyra ( khabar gembira )
i.        Aziz ( yang mulia )
j.        Majid ( yang dihormati )
k.      Basyir ( pembawa khabar gembira )
l.        Nazir ( pembawa peringatan )
5.      Perbedaan Al-Quran dengan Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi
a.       Hadis nabawi
Hadis dalam arti bahasa yaitu baru, lawan dari qadim ( lama ) dan yang dimaksud hadis ialah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh manusia baik kata-kata itu di peroleh melalui pendengarannya atau wahyu, baik dalam keadaan jaga ataupun dalam keadaan tidur.
      Sedangkan menurut istilah pengertian hadis adalah apa saja yang di sandarkan kepada nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan,persetujuan atau sifat.[6]
b.      Hadis kudsi
Hadis kudsi ialah hadis yang oleh Nabi saw. disandarkan pada Allah. Maksudnya Nabi meriwayatkannya bahwa itu adalah kalam Allah. Maka Rasul menjadi perawi kalam Allah ini dengan lafal dari Nabi sendiri.[7]
c.       Perbedaan quran dengan hadis kudsi
Ada beberapa perbedaan antara quran dan hadis qudsi, dan yang terpenting ialah :
1.      Al-Qur’anul karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasullah dengan lafalnya, menantang orang Arab, dan menjadi mukjizat abadi hingga hari kiamat. Sedangkan hadis kudsi tidak.
2.      Al-Qur’anul karim hanya di nisbahkan kepada Allah, Sedang hadis kudsi terkadang di riwayatkan di sandarkan kepada Allah sehingga nisbah hadis kudsi kepada Allah itu merupakan nisbah dibuatkan. Dan terkadang pula diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasullulah saw.
3.      Seluruh isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah mutlak. Sedang hadis-hadis kudsi kebanyakannya adalah khabar ahad, sehingga  kepastiannya masih dugaan. Ada kalanya sahih, terkadang hasan (baik) dan terkadang pula da’if (lemah).
4.      Al-Qur’anul karim dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Hadis kudsi makna saja dari Allah, sedang lafalnya dari Rasulullah saw  hadis kudsi ialah wahyu dalam makna tetapi bukan dalam lafal. Oleh sebab itu, menurut sebagian besar ahli  hadis di perbolehkan meriwayatkan hadis dengan maknanya saja.
5.      Membaca Al-Qur’anul karim merupakan ibadah, karena itu ia di baca dalam solat. Sedangkan hadis kudsi tidak.
d.      Perbedaan hadis kudsi dan hadis nabawi
Hadis nabawi itu ada dua, yaitu tauqifi dan taufiqi.
Tauqifi, yaitu yang kandungannya di terima oleh Rasulullah dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Sedangkan Tauqifi, yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah menurut pemahamannya terhadap Quran. Karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Sedangkan hadis kudsi maknanya dari Allah disampaikan melalui salah satu cara penurunan wahyu, sedang lafalnya dari Rasulullah saw.[8]    
B.     Sejarah Pemeliharaan Al-Quran
1.      Proses Turunnya Al-Quran ke Baitu al-‘Izzah dan ke Dunia Ini Beserta Hikmahnya
Ada pendapat yang menyatakan bahwa Al-Quran diturunkan tiga kali, mula-mula turun di Lauh Mahfudz, selanjutnya ke Baitul-‘Izzah (rumah kemuliaan) di langit dunia (langit lapis pertama), dan terakhir diturunkan terpisah dan berangsur-angsur sejalan dengan peristiwa tertentu.[9]
Adalah hikmah Illahi bahwa wahyu diturunkan sejalan dengan keperluan yang dibutuhkan oleh Rasulullah Saw dan untuk memberi tahu beliau mengenai soal-soal baru yang terjadi setiap hari. Melalui wahyu, Allah SWT memberi tuntunan serta petunjuk dan memantapkan ketabahan serta menambah ketenangan beliau.selain itu, wahyu di turunkan juga sejalan dengan keperluan yang di butuhkan untuk mendidik para sahabat nabi, memperbaiki adat kebiasaan dan menjawab berbagai kejadian yang mereka tanyakan. Al-Quran tidak mengejutkan mereka dengan semua ajaran dan ketentuan hukumnya. Bentuk keselarsan turunnya Al-Quran sesuai dengan kebutuhan dengan cara berangsur-angsur : ada turun lima ayat sekaligus dan ada pula yang sepuluh ayat sekali turun. Adakalanya kurang atau lebih dari itu mengenai turun sekaligus sepuluh ayat.
Ayat-ayat Al-Quran diturunkan sehubungan dengan peristiwa, baik bersifat individual atau sosial (kemasyarakatan) yang terjadi berturut-turut selama kurang lebih 23 tahun sampai akhir hidup rasulullah.[10]      
2.      Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa Nabi Muhammad saw.
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu,lalu menghafal dan memahaminya, seperti yang dijanjikan Allah:
  
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (Al-Qiyamah : 17).
Dalam kitab sahih-nya bukhari telah mengemukakan tentang adanya tujuh hafiz, melalui tiga riwayat mereka adalah Abdulah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal bekas budak, Abu Huzaifah bin Jabal, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Sabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu quran dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Mu’awiyah, Ubai bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran ini membantu penghafalan di dalam hati.
Rasulullah berpulang ke Rohmatullah disaat Quran telah dihafal dan ditulis dalam mushaf dengan susunan ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam suatu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf, tetapi quran belum dikumpulkan dalam suatu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Bila wahyu turun segeralah di hafal oleh para qura dan di tulis oleh para penulis, tapi pada saat itu belum di perlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu.[11]   

3.      Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa Abu Bakar r.a.
Abu bakar menjalankan urusan islam setelah rasulullah. Ia di hadapkan pada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Umar bin khatab merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap abu bakar dan mengajukan usul padanya agar mengumpulkan dan membukukan Quran karena di khawatirkan akan musnah, sebab peperangan yamamah telah banyak membunuh para qari.
Abu bakar menolak usulan ini `dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan Rasulullah sebelumnya. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu bakar untuk menerima usulan Umar tersebut.[12]
4.      Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa ‘Ustman r.a.
Penyebaran islam bertambah luas dan para qura pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk di setiap wilayah itu mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang di kirimkan pada mereka. Cara-cara pembacaan Quran yang mereka bawakan berbada-beda sejalan dengan perbedaan “huruf” yang dengannya Quran di turunkan. Apabila mereka berkumpul di suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran akan bedanya qira’at ini. Terkadang sebagian dari mereka merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya di sandarkan kepada Rasulullah. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan pada generasi baru yang tidak melihat rasulullah, sehingga terjadilah pembicaraan tentang bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya akan menimbulkan saling pertentangan bila terus tersiar, bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus segera diselesaikan. Usman kemudian mengirimkan utusan kepada hafsah (untuk meminjamkan mushaf abu bakar yang ada padanya) dan hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian usman memanggil Zaid bin Sabit Al-Ansari, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, dan Abdurahman bin Haris bin Hasyim, ketiga orang terakhir ini adalah suku Quraisy, lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang di perselisihkan Zaid dengan ketiga orang Quraisy itu di tulis dengan bahasa Quraisy, karena Quran turun dalam logat mereka.[13]
5.      Pemeliharaan Al-Quran dalam Bentuk Pemberian Titik dan Baris
Mushaf usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni. Sejalan dengan perkembangan agama Islam, semakin banyak orang-orang non-Arab memeluk Islam, maka timbul persoalan bagi mereka untuk membaca Alquran yang tanpa titik dan baris itu. Bahkan tidak jarang kesalahan baris (harakat) dalam bacaan Alquran dapat mengakibatkan perubahan makna yang sangat fundamental. Sebagai contoh, suatu ketika Abul-Aswad ad-Du’ali mendengar seorang qari membaca Surat at-Taubah ayat 3,
Ayat ini seharusnya dibaca dengan tanda dhammah pada huruf lam lafazh . Akan
tetapi oleh qari’ tersebut dibaca dengan membaca kasrah pada huruf lam.
Hal ini mengejutkan Abul Aswad dan ia berkata: “Maha Tinggi Allah untuk meninggalkan rasul-Nya”. Kemudian Abul Aswad melaporkan hal ini kepada Ziyad bin Samiyyah, Gubernur Basrah pada masa pemerintahan Mu’awiyah (661 – 680 M). Lalu Abul Aswad diminta untuk membubuhkan tanda baca (syakal) guna menghindari kesalahan membaca di kalangan kaum muslimin.
Memenuhi permintaan tersebut Abul Aswad memikirkan dan merumuskan tanda baca berupa : titik satu di atas huruf ( • ) sebagai tanda fathah (bunyi vokal ‘a’); titik satu di bawah huruf ( .) sebagai tanda kasrah (bunyi vokal ‘i’) dan titik satu di depan huruf ( ·– ) sebagai tanda dhammah (bunyi vokal ‘u’). Dalam penulisan mushhaf, tanda harakat ini diberi warna berbeda dengan tulisan hurufnya, dan ia tidak dibubuhkan pada setiap huruf melainkan hanya pada huruf terakhir setiap kata sebagai tanda i’rab.
Dalam pembacaan mushhaf Alquran ada kesamaan bentuk beberapa huruf yang tidak bisa dibedakan kecuali oleh orang yang sudah terbiasa dengan huruf-huruf tersebut, atau mereka yang sudah hafal Alquran. Seperti huruf bā’, tā’, tsā’, nūn’, dan yā’ yang dilambangkan dengan bentuk huruf yang sama, tanpa titik ( ٮ ) untuk kelima macam huruf tersebut. Demikian pula huruf jīm, hā dan Khā yang ditulis tanpa titik (ح); huruf dāl dan dzāl ditulis د ; huruf dan zāy ditulis ر ; huruf sīn dan syīn ditulis س; dan lain-lainnya. Sehingga tidak bisa dibedakan antara huruf yang satu dengan yang lainnya, kecuali bagi orang yang sudah hafal atau pernah mempelajarinya secara lisan.
Untuk mengatasi kesulitan ini, Gubernur Irak, Al-Hajjaj bin Yusuf (w. 714 M.) menugaskan kepada Nashr bin Ashim (w. 708 M) dan Yahya bin Ya’mur (w. 747 M) untuk membubuhkan tanda-tanda pembeda antara huruf-huruf yang bersimbol sama. Dalam menjalankan tugasnya, Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur membubuhkan titik-titik diakritis untuk membedakan huruf-huruf yang bersimbol sama. Hasil dari karya mereka berdua maka jadilah bentuk abjad huruf Arab seperti yang kita kenal sekarang ini.
untuk membedakan antara tanda titik yang menunjukkan syakal (yang dibuat oleh Abul Aswad Ad-Du’ali) dengan tanda titik diakritis yang menunjukkan jenis huruf (yang dibuat oleh Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur),  maka Al-Khalil bin Ahmad (718 – 786 M.), melakukan penyempurnaan terhadap karya Abul Aswad Ad-Du’ali dengan mengganti tanda titik yang menunjukkan bunyi vokal ‘a’, ‘i’ dan ‘u’, masing-masing diganti dengan huruf-huruf layyin (alif, yā’ dan wāw). Huruf-huruf tersebut ditulis dalam bentuk kecil pada posisi titi-titik tanda vokal yang digantikannya. Sehingga untuk bunyi vokal ‘a’ diberi tanda alif kecil di atas huruf ( -ا–), untuk bunyi vokal ‘i’ diberi tanda huruf ya’ kecil di bawah huruf ( –ى- ), dan untuk bunyi vokal ‘u’ diberi tanda huruf waw kecil di depan huruf (–و). Dalam perkembangan selanjutnya, tanda vokal dalam bentuk huruf alif, ’ dan wāw dipandang kurang efisien, maka digantilah huruf-huruf tersebut dengan tanda baris seperti yang kita kenal sekarang ini.[14]
6.      Pendapat Ulama Tentang Makna “Al-Quran Diturunkan Tujuh Huruf”
a.       Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna.
b.      Suatu kaum berpendapat bahwa tujuh huruf yaitu tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Al-Quran diturunkan.
c.       Sebagian ulama menyebutkan bahwa tujuh huruf yaitu tujuh wajah, yaitu amr, nahyu,wa’d, wa’id, jadal. Qasas, dan masal. Atau amr, nahyu,halal, haram, muhkam. mutasyabih, dan amsal.
d.      Segolongan ulama berpendapat bahwa tujuh huruf yaitu tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu perbedaan asma’, I’rab, tasrif, taqdim, ibdal, penambahan dan pengurangan, serta tafkhim dan tarqiq.
e.       Sebagian ulama berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah.
f.       Sebagian ulama berpendapat bahwa tujuh huruf yaitu qiraat tujuh.[15]


C.    Ilmu-Ilmu Al-Quran
1.      Pengertian Ulum al-Quran
kata ulum  jamak dari kata ilmu berarti  alfahmu wal idrak (paham dan menguasai). Jadi yang dimaksud dengan Ulumul Quran ialah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Quran dari segi asbabun Nuzul, penertiban dan pengumpulan Al-Quran, makki dan madani, nasikh mansukh, ahkam dan mutasyabih, dan lain sebagainya. [16]
2.      Sejarah Munculnya Ilmu-Ilmu Al-Quran dari Masa Nabi Muhammad Hingga Sekarang
Di masa Rasul SAW dan para sahabat, ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul, dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
Di zaman Khulafa’u Rasyiddin sampai dinasti umayyah wilayah islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa arab, bahkan dikhawatirkan tentang baca’an Al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-qur’an yang disebut mushaf imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar ulumul Qur’an yang disebut Al rasm Al-Utsmani.
Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2 H. Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Diantara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an.[17]


3.      Pengertian Ilmu Asbab al-Nuzul
a.       Definisi asbabun Nuzul
Setelah diselidiki, sebab turunnya sesuatu ayat itu berkisar pada dua hal :
1.      Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat al-quran mengenai peristiwa itu.
2.      Bila Rasulullah di Tanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Quran menerangkan hukumnya.
b.      Perlunya mengetahui asbabun nujul
Pengetahuan mengenai asbabun nujul mempunyai banyak faedah, yang terpenting di antaranya :
1.      Mengetahui hikmah diundangkannya  suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa, karena sayangnya kepada umat.
2.      Mengkhusukan (membatasi) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum.
3.      Apabila lafal yang di turunkan itu lafal yang umum dan terdapat dalil atas pengkhususannya, maka pengetahuan atas asbabun nujul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap yang selain  bentuk sebab.
4.      Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna Qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya.
5.      Sebab nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan.[18]
4.      Pengertian Ilmu Makki dan Madani
Para ulama begitu tertarik menyelidiki surah-surah makki dan madani. Mereka meneliti Quran ayat demi ayat dan surah demi surah untuk ditertibkan sesuai nuzulnya, dengan memperhatikan waktu, tempat, dan pola kalimat. Yang terpenting dipelajari ulama dalam pembahasan ini adalah :
1.      Yang diturunkan di Mekkah
2.      Yang diturunkan di Madinah
3.      Yang diperselisihkan
4.      Ayat-ayat makkiah dalam surah-surah madaniah
5.      Ayat-ayat madaniah dalam surah-surah makkiah
6.      Yang diturunkan di Mekkah sedang hukumnya madani
7.      Yang di turunkan di Madinah sedang hukumnya Makki
8.      Yang serupa dengan yang diturunkan di Mekkah dalam kelompok madani
9.      Yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok Makki
10.  Yang dibawa dari Mekkah ke Madinah
11.  Yang dibawa dari Madinah ke Mekkah
12.  Yang turun diwaktu malam dan siang
13.  Yang turun di musim panas dan musim dingin
14.  Yang turun di waktu menetap dan dalam perjalanan[19]
5.      Ilmu Qiraat dan Para Imam yang Meriwayatkannya
Qiraat adalah jamak dari Qira’ah yang berarti bacaan. Menurut istilah, Qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) pengucapan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam Qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
Qiraat tujuh imam adalah qiraat yang disepakati, mereka adalah Abu Amr, Nafi. Asim, Hamzah, al-Kisa’i. ibn ‘Amir dan Ibn kasir. Para ulama memilih tiga orang imam qiraat yang qiraatnya dipandang sahih dan mutawatir, mereka adalah Abu Ja’far Yazin bin Qa’qa al-Madani, Ya’qub bin Ishaq al-Hadrami,  dan Khalaf bin Hisyam.[20]
6.      Ilmu Muhkamat dan Mutasyabihat
Menurut bahasa muhkam berasal dari kata-kata hakamtu al-daabbata wa ahkamtu yang artinya saya menahan binatang itu. Muhkam  berarti sesuatu yang dikokohkan. Jadi kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Dengan pengertian ini Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam sebagaimana ditegaskan dalam firmannya:

“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,”
Sedangkan mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah adalah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkret maupun abstrak.
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Diantaranya sebagai berikut:
a.       Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanya diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.
b.      Muhkam adalah ayat-ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah.
c.       Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih memerlukan penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain.
7.      Ilmu Nasikh dan Mansukh
Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan).
Menurut istilah naskh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Dengan perkataan “hukum”, maka tidak termasuk dalam pengertian naskh menghapuskan “kebolehan” yang bersifat asal (al-bara’ah al-asliyah). Dan kata-kata “dengan kithab syara” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum di sebabkan mati atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.
Kata nasikh (yang menghapus) dapat diartikan dengan “Allah” yang terlihat seperti dalam Al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 106.
 
“ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu
            Mansukh adalah hukum yang diangkat atau di hapuskan. Maka ayat mawaris atau hukum yang terkandung di dalamnya’ misalnya, adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh) sebagaimana akan di jelaskan. Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa dalam naskh di perlukan syarat-syarat berikut :
1.      Hukum yang manuskh adalah hukum syara’.
2.      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
3.      Kitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.
Pedoman mengetahui naskh dan manfaatnya
Pendapat tentang naskh dan dalil ketetapannya
Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas empat golongan :
1.      Orang yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya, naskh mengandung konsep al-bada, yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas).
2.      Orang syi’ah rafidah. Mereka sangat berlebihan menetapkan naskh dan meluaskannya.
3.      Abu muslim al-asfahani. Menurutnya secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’.
4.      Jumhur ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah terjadi pula dalam hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil:
a.       Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
b.      Nas-nas kitab dan sunah menunjukan kebolehan naskh.
Pembagian naskh ada empat bagian :
1.      Naskh quran dengan quran.
2.      Naskh quran dengan sunah. Naskh ini ada dua macam:
a.       Naskh quran dengan hadis ahad.
b.      Naskh quran dengan hadis quran mutawatir.
3.      Naskh sunah dengan quran
4.      Naskh sunah dengan sunah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
a.       Naskh mutawatir dengan mutawatir
b.      Naskh ahad dengan ahad  
c.       Naskh ahad dengan mutawatir
d.      Naskh mutawatir dengan ahad.
Macam – macam naskh dalam quran ada tiga macam:
1.      Naskh tilawah dan hukum
2.      Naskh hukum, sedang tilawahnya tetap.
3.      Naskh tilawah sedang hukumnya tetap.
Hikmah naskh
1.      Memelihara kepentingan hamba.
2.      Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3.      Cobaan dan ujian bagi orang mukhalaf untuk mengikutinya atau tidak.
4.      Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahal, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
8.      Ilmu Penulisan Al-Quran dan Sejarah perkembangannya
Selain melalui penghafalan, upaya pemeliharaan alquran pada masa ini juga dilakukan dengan cara penulisan. Setiap kali Rasulullah menerima wahyu beliau membacakannya kepada para sahabat, serta mendiktekannya kepada para juru tulis wahyu ( كُتَّاب اْلوَحْيِ ) untuk menulis dan mencatatkannya. Sehingga dikenallah pada saat itu nama-nama penulis wahyu, antara lain: Khulafaur-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali), Mu’awiyah, Abban bin Sa’id, Khalid bin al-Walid, Ubayy bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qais, Arqam bin Ubayy, Hanzhalah bin ar-Rabi’, dan lain-lainnya.
Para penulis wahyu ini, selain menulis untuk disimpan di rumah Nabi, mereka juga menulis untuk koleksi pribadi yang disimpan di rumah masing-masing. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga keterpeliharaan hapalan mereka dari kemungkinan adanya ayat-ayat yang terlupakan.
Kepada para penulis wahyu ini, selain mendiktekannya, Rasulullah juga menunjukkan di mana ayat-ayat yang turun itu harus diletakkan dalam surat-surat Alquran. Sebagaimana Hadits yang dinukilkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah setiap kali turun wahyu beliau memanggil beberapa orang juru tulisnya sambil memberi petunjuk, ضَعْ هَذِهِ الْآيَةَ فِيْ سُوْرَةٍ كَذَا بَعْدَ آيَةٍ كَذَا (Letakkanlah ayat ini disurat tertentu dan sesudah ayat tertentu). Berdasarkan petunjuk inilah, maka penyusunan ayat-ayat Alquran dalam setiap surat menjadi susunan seperti yang terlihat dalam mushaf yang ada sekarang ini.
Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat Arab yang hidup pada masa itu dikenal sebagai masyarakat yang Ummiy (tidak bisa membaca dan menulis), namun tidak berarti semuanya Ummiy. Begitu pula dengan alat-alat tulis yang ada, sungguhpun tidak ada kertas yang dapat dijadikan sarana, namun dengan peralatan seadanya sebagai pengganti kertas, yang berupa tulang-tulang unta, kulit kambing, pelepah kurma, batu, dll. tidak mengurangi antusiasme para sahabat untuk menuliskan Alquran.
Mengenai keberadaan kertas sebagai bahan tulis-menulis pada waktu itu, sebenarnya Alquran sendiri telah menyebutkannya pada dua tempat di surat al-An’am. Pertama pada ayat 7 disebutkan dalam bentuk mufrad (tunggal), yaitu: قِرْطَاس , yang kedua pada ayat 91 disebutkan dalam bentuk jama’ (plural), yaitu: قَرَاطِيْس . Penyebutan nama media tulis ini dalam Alquran menunjukkan, bahwa kertas sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu itu, namun dalam bentuknya yang masih sangat sederhana dan jumlah masih sangat terbatas.
D.    Tafsir dan I’jaz Al-Quran
1.      Pengertian I’jaz
Dari segi bahasa, kata i’jaz diambil dari akar kata a’jaza-yu’jizu. Al-‘ajzu yang secara harfiyah antara lain berarti lemah,tidak mampu, tidak berdaya. Lawan kata dari al-qudroh yang berati sanggup, mampu atau kuasa. I’jaz yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu ini, sejalan dengan firman Allah Swt. dalam surat Al-Maidah ayat 31:
قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ 
Artinya: ”...mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini.” ( QS. Al-maidah : 31).
Sedangkan yang dimaksud dengan i’jaz, secara terminology ilmu al-Qur’an adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut:
1.     Manna al-Qathan; “I’jaz (kemukjizatan) adalah menampakkan kebenaran nabi  Saw.-dalam pengakuan orang lain-sebagai seorang rasul utusan Allah Swt. dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menandinginya atau menghadapi mukjizat yang abadi, yaitu al-Qur’an dan kelemahan-kelemahan generasi sesudah mereka.[21]
2.    Muhammad Bakar Ismail; “I’jaz (mukjizat) adalah perkara luar biasa yang disertai-dan diikuti-dengan tantangan yang diberikan oleh Allah Swt. kepada nabi-nabi-Nya sebagai hujjah dan bukti yang kuat atas misi dan kebenaran terhadap apa yang diembannya, yang bersumber dari Allah Swt.[22]
3.    Muhammad Ali al-Shabuny; “I’jaz ialah menetapkan kelemahan manusia baik secara kelompok maupun bersama-sama untuk menandingi hal yang serupa dengannya, maka mukjizat merupakan yang datangnya dari Allah Swt. yang diberikan kepada hamba-Nya untuk memperkuat kebenaran misi kerasulan dan kenabiannya.[23]
Dari ketiga definisi di atas dapat dipahami antara i’jaz dan mukjizat itu dapat diakatakan searti, yakni melemahkan. Hanya saja pengertian i’jaz di atas mengesankan batasan yang lebih bersifat spesifik, yaitu hanya al-Qur’an. Sedangkn pengertian mukjizat, mengesankan batasan yang lebih luas, yakni bukan hanya berupa al-Qur’an, tetapi juga perkara-perkara lain yang tidak mampu dijangkau oleh segala daya dan kemampuan manusia secara keseluruhan. Dengan demikian, dalam konteks ini antara pengertian i’jaz dan mukjizat itu saling isi mengisi dan saling lengkap melengkapi, sehingga dari batasan-batasan tersebut tampak dengan jelas keistimewaan dari ketetapan Allah yang khusus diberikan kepada Rasul-rasul pilihan-Nya, sebagai salah satu bukti kebenaran misi kerasulan yang dibawa itu.   
Jadi I'jaz al-Qur'an adalah ilmu Al-Qur'an yang membahas kekuatan susunan lafal dan kandungan Al-Qur'an, hingga dapat mengalahkan ahli-ahli bahasa Arab dan ahli-ahli lain.[24]
Tujuan I’jazul Qur’an
Dari pengertian yang telah diuraikan di atas, dapatlah diketahui bahwa tujuan i’jazul Qur’an itu banyak, di antaranya yaitu :
a.       Membuktikan bahwa Nabi Muhammad saw yang membawa mukjizat kitab Al-Qur’an itu adalah benar-benar seorang Nabi dan Rasul Allah.
b.      Membuktikan bahwa kitab al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah SWT, bukan buatan malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi Muhammad saw.
c.       Menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghahnya bahasa manusia, karena terbukti pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa Arab tidak ada yang mampu mendatangkan kitab tandingan yang sama seperti al-Qur’an, yang telah ditantangkan kepada mereka dalam berbagai tingkat dan bagian al-Qur’an.
d.      Menunjukkan kelemahan daya upaya dan rekayasa umat manusia yang tidak sebanding dengan keangkuhan dan kesombongannya.
I’jaz al-Lughawi (Mukjizat dari Segi Bahasa)
Dari segi kebahasaan (lughawi) dan kesastraannya al-Qur`an mempunyai gaya bahasa yang khas yang sangat berbeda dengan bahasa masyarakat Arab, baik dari pemilihan huruf dan kalimat yang keduanya mempunyai makna yang dalam.
Kehalusan bahasa dan uslub al-Qur`an yang menakjubkan terlihat dari balagoh dan fasohahnya, baik yang konkrit maupun abstrak dalam mengekspresikan dan mengeksplorasi makna yang dituju sehingga dapat komunikatif antara Autor (Allah) dan penikmat (umat).
Selanjutnya apabila ketidakmampuan bangsa Arab telah terbukti sedangkan mereka mumpuni dalam bidang bahasa dan sastra, maka terbukti pulalah kemukjizatan al-Quran dalam segi bahasa dan sastra dan itu merupakan argumenatasi terhadap mereka maupun terhadap kaum-kaum selain mereka. Sebab dipahami bahwa apabila sebuah pekerjaan tidak bisa dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidangnya tentunya semakin jauh lagi kemustahilan itu bisa dilakukan oleh mereka yang tidak ahli dibidangnya.[25]
I’jaz al-Tasyri’i (Kemukjizatan dari Segi Hukum)
Dalam sejarah kehidupannya, manusia telah banyak mengenal berbagai macam doktrin, pandangan hidup, sistem dan perundang-undangan yang bertujuan membangun hakikat kebahagiaan individu di dalam masyarakat. Namun tidak satupun daripadanya yang dapat mencapai seperti yang dicapai al-Qur’an dalam kemukjizatan tasyri’-nya.[26]
  Dalam menetapkan hukum al-Qur`an menggunakan cara-cara sebagai berikut;
1.      Secara mujmal. Cara ini digunakan dalam banyak urusan ibadah yaitu dengan menerangkan pokok-pokok hukum saja. Demikian pula tentang mu’amalat badaniyah al-Qur`an hanya mengungkapkan kaidah-kaidah secara kuliyah. sedangkan perinciannya diserahkan pada as-Sunah dan ijtihad para mujtahid.
2.      Hukum yang agak jelas dan terperinci. Misalnya hukum jihad, undang-undang peranghubungan umat Islam dengan umat lain, hukum tawanan dan rampasan perang. Seperti QS. al-Taubah 9:41:
 انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
3.      Jelas dan terpeinci. Diantara hukum-hukum ini adalah masalah hutang-piutang QS. Al-Baqarah,2:282. Tentang makanan yang halal dan haram, QS. An-Nis` 4:29. Tentang sumpah, QS. An-Nahl 16:94. Tentang perintah memelihara kehormatan wanita, diantara QS. Al-Ahzab 33:59. dan perkawinan QS. An-Nisa` 4:22.
e.       Pengertian Tafsir dan Takwil
Qur’anul karim adalah sumber tasyri’ pertama bagi umat Muhammad. Dan kebahagiaan mereka bergantung pada pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang tekandung di dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafaz dan ungkapan quran tidaklah sama, padahal sedemikiannya gamlang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar di antara mereka ini adalah suatu hal yang tidak di pertahankan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-maknanya yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya yang gelobal. sedang kalangan cerdik cendekia dan terpelajar akan dapat menyimpulkan pula daripada makna-maknanya yang menarik.dan di antara kedua kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman. Maka tidaklah mengherankan jika quran mendapat perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif  terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata garib (aneh,ganjil) atau mentak’wilkan takrib (susunan kalimat).
Pengertian ta’wil dan tafsir
Tafsir menurut bahasa mengikuti wazan taf’il berasal dari akar kata al-fasr (f, s, r,) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakan atau mennerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba-yadribu dan nasara-yansuru. Dikatakan : “fasara (asy-syai’a) yafsiru” dan “yafsuru, fasran”, dan “fasarahu, artinya “abanahu” (menjelaskannya).
Perbedaan antara ta’wil dan tafsir     
            Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua kata tersebut. Berdasarkan pada pembahasab di atas tentang makna tafsir dan ta’wil, kita dapat menyimpulkan pendapat terpenting di antaranya sebagai berikut :
1)      Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah menapsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka ta’wil dan tafsir adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya.
2)      Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka ta’wil dari talab (tuntutan)  adalah esensi perubahan yang di tuntut itu sendiri dan ta’wil dari khabar adalah esensi sesuatu yang di berikan.
3)      Dikatakan, tafsir adalah apa yang telah jelas di kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunah yang sahih karena maknanya telah jelas dan gamblang.
4)      Dikatakan pula, tafsir lebih banyak digunakan dalam (menerangkan) lafaz dan mufradat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak di pakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Qathan, Manna. 2010. “Mabahits fi Ulum al-Qur’an” diterjemahkan oleh Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-kautsar. cet. Ke-10
Al-Qattan, Manna Khalil.2012. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an: diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Drs. Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. cet. 15
Al-Shabuny, Muhammad Ali. 1970.  al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. Bairut: Dar al-Irsyad   
As-Shalih, Subhi. 2011. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus. cet.11
Hamzah, Muchotob . 2003. Studi Al-Qur'an Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media ISBN 979-95526-1-3
Ismail, Muhammad Bakar . 1991. Dirasat fi Ulum al-Qur’an. Kairo: Dar al-Manar  
Zarqani, Muhammad. t.t. Manahilul Irfan fi Ulumil Quran, Juz III. Mesir: Isa Al-Babi Al-Himabi



[1] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an: diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Drs. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2012), cet. 15, h.10-15
[2] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2011), cet.11, h. 4
[3] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an…… h. 15-16
[4] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an…. h. 6
[5] Ibid, h.4
[6] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an…… h. 22-23
[7] Ibid. h.25
[8] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an…… h.28
[9] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an…. h. 59
[10] Ibid. h. 58
[11] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an…… h.187
[12] Ibid. h. 188
[13] Ibid. h. 193
[14] Ibid. h. 218
[15] Ibid. h. 229-234
[16] Ibid. h. 8
[17] Ibid. h. 187
[18] Ibid. h. 106-114
[19] Ibid. h.72-73
[20] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an…… h.248
[21] Manna al-Qathan, “Mabahits fi Ulum al-Qur’an” diterjemahkan oleh Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2010), cet. Ke-10, h. 323
[22] Muhammad Bakar Ismail, Dirasat fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Manar, 1991), h. 395  
[23] Muhammad Ali al-Shabuny, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Irsyad, 1970), h. 91   
[24] Hamzah, Muchotob (2003). Studi Al-Qur'an Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media ISBN 979-95526-1-3
[25] Muhammad Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulumil Quran, Juz III, (Mesir: Isa Al-Babi Al-Himabi, t.t.) h. 332
[26] Manna al-Qathan, op.cit., h.345 

No comments:

Post a Comment