RANGKUMAN ULUMUL QURAN
Nama : Lia
Herliawati
NIM :
1112011000030
Kelas : 2.A
A.
Al-Quran dan Wahyu
1.
Keutamaan Al-Quran dan Orang yang Mempelajarinya serta
Mengajarkannya
Quran adalah risalah Allah kepada
manusia semuanya. Maka tidaklah aneh apabila Qur’an dapat memenuhi semua
tuntutan kemanusiaan berdasarkan asas-asas pertama konsep agama samawi.
Rasulullah juga telah menantang orang-orang Arab dengan Qur’an, padahal Qur’an
diturunkan dengan bahasa mereka dan merekapun ahli dalam bahasa itu dan
retorikanya. Namun ternyata mereka tidak mampu membuat apapun seperti Qur’an,
atau membuat sepuluh surah saja, bahkan satu surah pun seperti Qur’an. Maka
terbuktilah kemukjizatan Qur’an dan terbukti pula kerasulan Muhammad. Allah telah
menjaganya dan menjaga pula penyampaiannya yang beruntun, sehingga tak ada
penyimpangan atau perubahan apapun.
Keistimewaan yang demikian ini tidak
dimiliki oleh kitab-kitab yang terdahulu, karena kitab-kitab itu diperuntukkan
bagi satu waktu tertentu. Dengan keistimewaan itu Qur’an memecahkan problem-problem
kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial,
ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan
oleh yang Mahabijaksana dan Maha terpuji.[1]
2.
Pengertian Al-Quran Menurut Bahasa dan Istilah
Al-Qur’an dikenal secara umum
berasal dari bentuk kata Masdar dari Qara’a.[2]
Qara’a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, Qira’ah berarti
menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam satu ucapan
yang tersusun rapih. Qur’an pada mulanya seperti Qira’ah, yaitu masdar
dari kata Qara’a, Qira’atan, Qur’anan. Allah berfirman:
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami
telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”[3]
Para ulama
berbeda pendapat mengenai lafadz al-Qur’an. Sebagian berpendapat, penulisan
lafadz tersebut dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an), ulama yang
mengemukakan pendapat ini diantaranya adalah az-Zajjaj dan al-Lihyani[4]. Pendapat
lain mengatakan penulisannya tanpa dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an)
ulama yang mengemukakan pendapat ini adalah asy-Syafi’i, al-Farra, dan
al-Asy’ari.[5]
3.
Nama-Nama Al-Quran
Allah menamakan Quran dengan beberapa nama, di antaranya :
a.
Quran
“Sesungguhnya Al Quran
ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar
gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka
ada pahala yang besar”( Al-Israa’: 9
)
b.
Kitab
“Sesungguhnya
telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat
sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka Apakah kamu tiada memahaminya?” ( Al-Anbiyaa : 10 )
c.
Furqon
“Maha
suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar
Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” ( Al-Furqan : 1 )
d.
Zikr
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya” (
Al-Hijr : 9 )
e.
Tanzil
“dan
Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam” ( Asy-Syuara : 192 )
4.
Sifat-Sifat Al-Quran
Allah telah melukiskan Quran dengan beberapa sifat, di antaranya :
a.
Nur
( cahaya )
b.
Huda
( petunjuk )
c.
Syifa
( obat )
d.
Rahmah
( rahmat )
e.
Mau’ijah
( nasihat )
f.
Mubin
( yang menerangkan )
g.
Mubarak
( yang diberkati )
h.
Busyra
( khabar gembira )
i.
Aziz
( yang mulia )
j.
Majid
( yang dihormati )
k.
Basyir
( pembawa khabar gembira )
l.
Nazir
( pembawa peringatan )
5.
Perbedaan Al-Quran dengan Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi
a.
Hadis
nabawi
Hadis
dalam arti bahasa yaitu baru, lawan dari qadim ( lama ) dan yang dimaksud hadis
ialah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh
manusia baik kata-kata itu di peroleh melalui pendengarannya atau wahyu, baik
dalam keadaan jaga ataupun dalam keadaan tidur.
Sedangkan menurut istilah pengertian hadis
adalah apa saja yang di sandarkan kepada nabi SAW baik berupa perkataan,
perbuatan,persetujuan atau sifat.[6]
b.
Hadis
kudsi
Hadis
kudsi ialah hadis yang oleh Nabi saw. disandarkan pada Allah. Maksudnya Nabi meriwayatkannya
bahwa itu adalah kalam Allah. Maka Rasul menjadi perawi kalam Allah ini dengan
lafal dari Nabi sendiri.[7]
c.
Perbedaan
quran dengan hadis kudsi
Ada
beberapa perbedaan antara quran dan hadis qudsi, dan yang terpenting ialah :
1.
Al-Qur’anul
karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasullah dengan lafalnya,
menantang orang Arab, dan menjadi mukjizat abadi hingga hari kiamat. Sedangkan
hadis kudsi tidak.
2.
Al-Qur’anul
karim hanya di nisbahkan kepada Allah, Sedang hadis kudsi terkadang di
riwayatkan di sandarkan kepada Allah sehingga nisbah hadis kudsi kepada Allah itu
merupakan nisbah dibuatkan. Dan terkadang pula diriwayatkan dengan disandarkan
kepada Rasullulah saw.
3.
Seluruh
isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah mutlak.
Sedang hadis-hadis kudsi kebanyakannya adalah khabar ahad, sehingga kepastiannya masih dugaan. Ada kalanya sahih,
terkadang hasan (baik) dan terkadang pula da’if (lemah).
4.
Al-Qur’anul
karim dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Hadis kudsi makna saja dari Allah,
sedang lafalnya dari Rasulullah saw hadis
kudsi ialah wahyu dalam makna tetapi bukan dalam lafal. Oleh sebab itu, menurut
sebagian besar ahli hadis di perbolehkan
meriwayatkan hadis dengan maknanya saja.
5.
Membaca
Al-Qur’anul karim merupakan ibadah, karena itu ia di baca dalam solat.
Sedangkan hadis kudsi tidak.
d.
Perbedaan
hadis kudsi dan hadis nabawi
Hadis
nabawi itu ada dua, yaitu tauqifi dan taufiqi.
Tauqifi, yaitu yang kandungannya di terima oleh Rasulullah dari wahyu,
lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Sedangkan Tauqifi,
yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah menurut pemahamannya terhadap Quran.
Karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan
dan ijtihad. Sedangkan hadis kudsi maknanya dari Allah disampaikan melalui
salah satu cara penurunan wahyu, sedang lafalnya dari Rasulullah saw.[8]
B.
Sejarah Pemeliharaan Al-Quran
1.
Proses Turunnya Al-Quran ke Baitu al-‘Izzah dan ke Dunia Ini Beserta
Hikmahnya
Ada pendapat
yang menyatakan bahwa Al-Quran diturunkan tiga kali, mula-mula turun di Lauh
Mahfudz, selanjutnya ke Baitul-‘Izzah (rumah kemuliaan) di langit dunia (langit
lapis pertama), dan terakhir diturunkan terpisah dan berangsur-angsur sejalan
dengan peristiwa tertentu.[9]
Adalah hikmah Illahi
bahwa wahyu diturunkan sejalan dengan keperluan yang dibutuhkan oleh Rasulullah
Saw dan untuk memberi tahu beliau mengenai soal-soal baru yang terjadi setiap
hari. Melalui wahyu, Allah SWT memberi tuntunan serta petunjuk dan memantapkan
ketabahan serta menambah ketenangan beliau.selain itu, wahyu di turunkan juga
sejalan dengan keperluan yang di butuhkan untuk mendidik para sahabat nabi,
memperbaiki adat kebiasaan dan menjawab berbagai kejadian yang mereka tanyakan.
Al-Quran tidak mengejutkan mereka dengan semua ajaran dan ketentuan hukumnya.
Bentuk keselarsan turunnya Al-Quran sesuai dengan kebutuhan dengan cara
berangsur-angsur : ada turun lima ayat sekaligus dan ada pula yang sepuluh ayat
sekali turun. Adakalanya kurang atau lebih dari itu mengenai turun sekaligus
sepuluh ayat.
Ayat-ayat Al-Quran
diturunkan sehubungan dengan peristiwa, baik bersifat individual atau sosial
(kemasyarakatan) yang terjadi berturut-turut selama kurang lebih 23 tahun sampai
akhir hidup rasulullah.[10]
2.
Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa Nabi Muhammad saw.
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia
senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu,lalu menghafal dan
memahaminya, seperti yang dijanjikan Allah:
“Sesungguhnya atas
tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya.” (Al-Qiyamah :
17).
Dalam kitab sahih-nya bukhari telah
mengemukakan tentang adanya tujuh hafiz, melalui tiga riwayat mereka adalah Abdulah
bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal bekas budak, Abu Huzaifah bin Jabal, Ubai bin Ka’b,
Zaid bin Sabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
Rasulullah telah mengangkat para
penulis wahyu quran dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Mu’awiyah, Ubai
bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka
menuliskannya dan menunjukan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga
penulisan pada lembaran ini membantu penghafalan di dalam hati.
Rasulullah berpulang ke Rohmatullah disaat
Quran telah dihafal dan ditulis dalam mushaf dengan susunan ayat-ayat dan
surah-surah dipisah-pisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap
surah berada dalam suatu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf, tetapi
quran belum dikumpulkan dalam suatu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Bila
wahyu turun segeralah di hafal oleh para qura dan di tulis oleh para penulis,
tapi pada saat itu belum di perlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi
masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu.[11]
3.
Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa Abu Bakar r.a.
Abu bakar menjalankan urusan islam
setelah rasulullah. Ia di hadapkan pada peristiwa-peristiwa besar berkenaan
dengan kemurtadan sebagian orang arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan
dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Umar bin khatab
merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap abu bakar dan
mengajukan usul padanya agar mengumpulkan dan membukukan Quran karena di
khawatirkan akan musnah, sebab peperangan yamamah telah banyak membunuh para
qari.
Abu bakar menolak usulan ini `dan
berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan Rasulullah sebelumnya.
Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu bakar untuk
menerima usulan Umar tersebut.[12]
4.
Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa ‘Ustman r.a.
Penyebaran islam bertambah luas dan
para qura pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk di setiap wilayah itu
mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang di kirimkan pada mereka. Cara-cara
pembacaan Quran yang mereka bawakan berbada-beda sejalan dengan perbedaan
“huruf” yang dengannya Quran di turunkan. Apabila mereka berkumpul di suatu
pertemuan atau di suatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran akan
bedanya qira’at ini. Terkadang sebagian dari mereka merasa puas karena
mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya di sandarkan kepada Rasulullah.
Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan pada
generasi baru yang tidak melihat rasulullah, sehingga terjadilah pembicaraan
tentang bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya
akan menimbulkan saling pertentangan bila terus tersiar, bahkan akan
menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus
segera diselesaikan. Usman kemudian mengirimkan utusan kepada hafsah (untuk
meminjamkan mushaf abu bakar yang ada padanya) dan hafsah pun mengirimkan
lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian usman memanggil Zaid bin Sabit Al-Ansari,
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, dan Abdurahman bin Haris bin Hasyim,
ketiga orang terakhir ini adalah suku Quraisy, lalu memerintahkan mereka agar
menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang di
perselisihkan Zaid dengan ketiga orang Quraisy itu di tulis dengan bahasa Quraisy,
karena Quran turun dalam logat mereka.[13]
5.
Pemeliharaan Al-Quran dalam Bentuk Pemberian Titik dan Baris
Mushaf usmani tidak memakai tanda
baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan
orang-orang Arab yang masih murni. Sejalan dengan perkembangan agama Islam,
semakin banyak orang-orang non-Arab memeluk Islam, maka timbul persoalan bagi
mereka untuk membaca Alquran yang tanpa titik dan baris itu. Bahkan tidak
jarang kesalahan baris (harakat) dalam bacaan Alquran dapat mengakibatkan
perubahan makna yang sangat fundamental. Sebagai contoh, suatu ketika
Abul-Aswad ad-Du’ali mendengar seorang qari membaca Surat at-Taubah ayat 3,
tetapi
oleh qari’ tersebut dibaca dengan membaca kasrah pada huruf lam.
Hal ini mengejutkan Abul Aswad dan ia berkata: “Maha Tinggi Allah
untuk meninggalkan rasul-Nya”. Kemudian Abul Aswad melaporkan hal ini kepada
Ziyad bin Samiyyah, Gubernur Basrah pada masa pemerintahan Mu’awiyah (661 – 680
M). Lalu Abul Aswad diminta untuk membubuhkan tanda baca (syakal) guna
menghindari kesalahan membaca di kalangan kaum muslimin.
Memenuhi permintaan tersebut Abul
Aswad memikirkan dan merumuskan tanda baca berupa : titik satu di atas huruf (
• ) sebagai tanda fathah (bunyi vokal ‘a’); titik satu di bawah huruf ( .)
sebagai tanda kasrah (bunyi vokal ‘i’) dan titik satu di depan huruf ( ·– ) sebagai
tanda dhammah (bunyi vokal ‘u’). Dalam penulisan mushhaf, tanda harakat ini
diberi warna berbeda dengan tulisan hurufnya, dan ia tidak dibubuhkan pada
setiap huruf melainkan hanya pada huruf terakhir setiap kata sebagai tanda i’rab.
Dalam pembacaan mushhaf Alquran ada
kesamaan bentuk beberapa huruf yang tidak bisa dibedakan kecuali oleh orang
yang sudah terbiasa dengan huruf-huruf tersebut, atau mereka yang sudah hafal
Alquran. Seperti huruf bā’, tā’, tsā’, nūn’, dan yā’ yang
dilambangkan dengan bentuk huruf yang sama, tanpa titik ( ٮ ) untuk kelima macam huruf tersebut. Demikian pula huruf jīm,
hā dan Khā yang ditulis tanpa titik (ح);
huruf dāl dan dzāl ditulis د ;
huruf rā dan zāy ditulis ر ;
huruf sīn dan syīn ditulis س;
dan lain-lainnya. Sehingga tidak bisa dibedakan antara huruf yang satu dengan
yang lainnya, kecuali bagi orang yang sudah hafal atau pernah mempelajarinya
secara lisan.
Untuk mengatasi kesulitan ini,
Gubernur Irak, Al-Hajjaj bin Yusuf (w. 714 M.) menugaskan kepada Nashr bin
Ashim (w. 708 M) dan Yahya bin Ya’mur (w. 747 M) untuk membubuhkan tanda-tanda
pembeda antara huruf-huruf yang bersimbol sama. Dalam menjalankan tugasnya,
Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur membubuhkan titik-titik diakritis untuk
membedakan huruf-huruf yang bersimbol sama. Hasil dari karya mereka berdua maka
jadilah bentuk abjad huruf Arab seperti yang kita kenal sekarang ini.
untuk membedakan antara tanda titik
yang menunjukkan syakal (yang dibuat oleh Abul Aswad Ad-Du’ali) dengan tanda
titik diakritis yang menunjukkan jenis huruf (yang dibuat oleh Nashr bin Ashim
dan Yahya bin Ya’mur), maka Al-Khalil
bin Ahmad (718 – 786 M.), melakukan penyempurnaan terhadap karya Abul Aswad
Ad-Du’ali dengan mengganti tanda titik yang menunjukkan bunyi vokal ‘a’, ‘i’
dan ‘u’, masing-masing diganti dengan huruf-huruf layyin (alif, yā’ dan
wāw). Huruf-huruf tersebut ditulis dalam bentuk kecil pada posisi
titi-titik tanda vokal yang digantikannya. Sehingga untuk bunyi vokal ‘a’
diberi tanda alif kecil di atas huruf ( -ا–),
untuk bunyi vokal ‘i’ diberi tanda huruf ya’ kecil di bawah huruf ( –ى- ), dan untuk bunyi vokal ‘u’ diberi tanda
huruf waw kecil di depan huruf (–و).
Dalam perkembangan selanjutnya, tanda vokal dalam bentuk huruf alif, yā’
dan wāw dipandang kurang efisien, maka digantilah huruf-huruf tersebut
dengan tanda baris seperti yang kita kenal sekarang ini.[14]
6.
Pendapat Ulama Tentang Makna “Al-Quran Diturunkan Tujuh Huruf”
a. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh
huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna.
b. Suatu kaum berpendapat bahwa tujuh huruf yaitu tujuh macam bahasa
dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Al-Quran diturunkan.
c. Sebagian ulama menyebutkan bahwa tujuh huruf yaitu tujuh wajah,
yaitu amr, nahyu,wa’d, wa’id, jadal. Qasas,
dan masal. Atau amr, nahyu,halal, haram, muhkam.
mutasyabih, dan amsal.
d. Segolongan ulama berpendapat bahwa tujuh huruf yaitu tujuh macam
hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu perbedaan asma’,
I’rab, tasrif, taqdim, ibdal, penambahan dan pengurangan, serta tafkhim
dan tarqiq.
e. Sebagian ulama berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan
secara harfiah.
f. Sebagian ulama berpendapat bahwa tujuh huruf yaitu qiraat tujuh.[15]
C.
Ilmu-Ilmu Al-Quran
1.
Pengertian Ulum al-Quran
kata ulum jamak dari
kata ilmu berarti alfahmu wal
idrak (paham dan menguasai). Jadi yang dimaksud dengan Ulumul Quran
ialah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Quran dari
segi asbabun Nuzul, penertiban dan pengumpulan Al-Quran, makki
dan madani, nasikh mansukh, ahkam dan mutasyabih,
dan lain sebagainya. [16]
2.
Sejarah Munculnya Ilmu-Ilmu Al-Quran dari Masa Nabi Muhammad Hingga
Sekarang
Di masa Rasul SAW dan para sahabat,
ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan
tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan
struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul,
dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat
menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
Di zaman Khulafa’u Rasyiddin sampai
dinasti umayyah wilayah islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara
orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan
demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa
arab, bahkan dikhawatirkan tentang baca’an Al-Qur’an yang menjadi sebuah
standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari
tulisan-tulisan aslinya sebuah al-qur’an yang disebut mushaf imam. Dan dari
salinan inilah suatu dasar ulumul Qur’an yang disebut Al rasm Al-Utsmani.
Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2 H. Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Diantara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an.[17]
Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2 H. Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Diantara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an.[17]
3.
Pengertian Ilmu Asbab al-Nuzul
a.
Definisi
asbabun Nuzul
Setelah
diselidiki, sebab turunnya sesuatu ayat itu berkisar pada dua hal :
1.
Bila
terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat al-quran mengenai peristiwa itu.
2.
Bila
Rasulullah di Tanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Quran menerangkan
hukumnya.
b.
Perlunya
mengetahui asbabun nujul
Pengetahuan
mengenai asbabun nujul mempunyai banyak faedah, yang terpenting di antaranya :
1.
Mengetahui
hikmah diundangkannya suatu hukum dan
perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa,
karena sayangnya kepada umat.
2.
Mengkhusukan
(membatasi) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu
dinyatakan dalam bentuk umum.
3.
Apabila
lafal yang di turunkan itu lafal yang umum dan terdapat dalil atas
pengkhususannya, maka pengetahuan atas asbabun nujul membatasi pengkhususan itu
hanya terhadap yang selain bentuk sebab.
4.
Mengetahui
sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna Qur’an dan menyingkap
kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa
mengetahui sebab nuzulnya.
5.
Sebab
nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat
tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan
perselisihan.[18]
4.
Pengertian Ilmu Makki dan Madani
Para ulama begitu tertarik menyelidiki surah-surah makki dan
madani. Mereka meneliti Quran ayat demi ayat dan surah demi surah untuk
ditertibkan sesuai nuzulnya, dengan memperhatikan waktu, tempat, dan pola
kalimat. Yang terpenting dipelajari ulama dalam pembahasan ini adalah :
1.
Yang
diturunkan di Mekkah
2.
Yang
diturunkan di Madinah
3.
Yang
diperselisihkan
4.
Ayat-ayat
makkiah dalam surah-surah madaniah
5.
Ayat-ayat
madaniah dalam surah-surah makkiah
6.
Yang
diturunkan di Mekkah sedang hukumnya madani
7.
Yang
di turunkan di Madinah sedang hukumnya Makki
8.
Yang
serupa dengan yang diturunkan di Mekkah dalam kelompok madani
9.
Yang
serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok Makki
10.
Yang
dibawa dari Mekkah ke Madinah
11.
Yang
dibawa dari Madinah ke Mekkah
12.
Yang
turun diwaktu malam dan siang
13.
Yang
turun di musim panas dan musim dingin
14.
Yang
turun di waktu menetap dan dalam perjalanan[19]
5.
Ilmu Qiraat dan Para Imam yang Meriwayatkannya
Qiraat adalah jamak dari Qira’ah
yang berarti bacaan. Menurut istilah, Qiraat adalah salah satu mazhab (aliran)
pengucapan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam Qurra’ sebagai suatu
mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
Qiraat tujuh imam adalah qiraat yang
disepakati, mereka adalah Abu Amr, Nafi. Asim, Hamzah, al-Kisa’i. ibn ‘Amir dan
Ibn kasir. Para ulama memilih tiga orang imam qiraat yang qiraatnya dipandang
sahih dan mutawatir, mereka adalah Abu Ja’far Yazin bin Qa’qa al-Madani, Ya’qub
bin Ishaq al-Hadrami, dan Khalaf bin
Hisyam.[20]
6.
Ilmu Muhkamat dan Mutasyabihat
Menurut bahasa muhkam berasal
dari kata-kata hakamtu al-daabbata wa ahkamtu yang artinya saya menahan
binatang itu. Muhkam berarti
sesuatu yang dikokohkan. Jadi kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu
sifatnya. Dengan pengertian ini Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya adalah
muhkam sebagaimana ditegaskan dalam firmannya:
“Alif laam raa, (inilah)
suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara
terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha
tahu,”
Sedangkan
mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh yakni bila salah satu
dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah adalah keadaan dimana salah
satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya
kemiripan diantara keduanya secara konkret maupun abstrak.
Mengenai
pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat.
Diantaranya sebagai berikut:
a. Muhkam
adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanya
diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.
b. Muhkam
adalah ayat-ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung
banyak wajah.
c. Muhkam
adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan
keterangan lain, sedang mutasyabih memerlukan penjelasan dengan merujuk pada
ayat-ayat lain.
7.
Ilmu Nasikh dan Mansukh
Naskh menurut bahasa dipergunakan
untuk arti izalah (menghilangkan).
Menurut istilah naskh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’
dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Dengan perkataan “hukum”, maka
tidak termasuk dalam pengertian naskh menghapuskan “kebolehan” yang bersifat
asal (al-bara’ah al-asliyah). Dan kata-kata “dengan kithab syara” mengecualikan
pengangkatan (penghapusan) hukum di sebabkan mati atau gila, atau penghapusan
dengan ijma’ atau qiyas.
Kata nasikh (yang menghapus) dapat
diartikan dengan “Allah” yang terlihat seperti dalam Al-Quran surat Al-Baqoroh ayat
106.
“ayat mana saja yang Kami
nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui
bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
Mansukh adalah
hukum yang diangkat atau di hapuskan. Maka ayat mawaris atau hukum yang
terkandung di dalamnya’ misalnya, adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat
kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh) sebagaimana akan di jelaskan.
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa dalam naskh di perlukan syarat-syarat
berikut :
1.
Hukum
yang manuskh adalah hukum syara’.
2.
Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari
khitab yang hukumnya mansukh.
3.
Kitab
yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab
jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut.
Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.
Pedoman mengetahui naskh dan manfaatnya
Pendapat tentang naskh dan dalil ketetapannya
Dalam masalah
naskh, para ulama terbagi atas empat golongan :
1.
Orang
yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya, naskh mengandung
konsep al-bada, yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas).
2.
Orang
syi’ah rafidah. Mereka sangat berlebihan menetapkan naskh dan meluaskannya.
3.
Abu
muslim al-asfahani. Menurutnya secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi
tidak mungkin terjadi menurut syara’.
4.
Jumhur
ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan
telah terjadi pula dalam hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil:
a.
Perbuatan-perbuatan
Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan
sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena dialah
yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
b.
Nas-nas
kitab dan sunah menunjukan kebolehan naskh.
Pembagian naskh ada empat bagian :
1.
Naskh
quran dengan quran.
2.
Naskh
quran dengan sunah. Naskh ini ada dua macam:
a.
Naskh
quran dengan hadis ahad.
b.
Naskh
quran dengan hadis quran mutawatir.
3.
Naskh
sunah dengan quran
4.
Naskh
sunah dengan sunah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
a.
Naskh
mutawatir dengan mutawatir
b.
Naskh
ahad dengan ahad
c.
Naskh
ahad dengan mutawatir
d.
Naskh
mutawatir dengan ahad.
Macam – macam naskh dalam quran ada tiga macam:
1.
Naskh
tilawah dan hukum
2.
Naskh
hukum, sedang tilawahnya tetap.
3.
Naskh
tilawah sedang hukumnya tetap.
Hikmah naskh
1.
Memelihara
kepentingan hamba.
2.
Perkembangan
tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
perkembangan kondisi umat manusia.
3.
Cobaan
dan ujian bagi orang mukhalaf untuk mengikutinya atau tidak.
4.
Menghendaki
kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang
lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahal, dan jika beralih ke hal
yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
8.
Ilmu Penulisan Al-Quran dan Sejarah perkembangannya
Selain melalui penghafalan, upaya pemeliharaan alquran pada masa ini juga
dilakukan dengan cara penulisan. Setiap kali Rasulullah menerima wahyu beliau
membacakannya kepada para sahabat, serta mendiktekannya kepada para juru tulis
wahyu ( كُتَّاب اْلوَحْيِ ) untuk menulis dan
mencatatkannya. Sehingga dikenallah pada saat itu nama-nama penulis wahyu,
antara lain: Khulafaur-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali), Mu’awiyah,
Abban bin Sa’id, Khalid bin al-Walid, Ubayy bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit
bin Qais, Arqam bin Ubayy, Hanzhalah bin ar-Rabi’, dan lain-lainnya.
Para
penulis wahyu ini, selain menulis untuk disimpan di rumah Nabi, mereka juga
menulis untuk koleksi pribadi yang disimpan di rumah masing-masing. Hal ini
mereka lakukan untuk menjaga keterpeliharaan hapalan mereka dari kemungkinan
adanya ayat-ayat yang terlupakan.
Kepada
para penulis wahyu ini, selain mendiktekannya, Rasulullah juga menunjukkan di mana
ayat-ayat yang turun itu harus diletakkan dalam surat-surat Alquran.
Sebagaimana Hadits yang dinukilkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah setiap
kali turun wahyu beliau memanggil beberapa orang juru tulisnya sambil memberi
petunjuk, ضَعْ هَذِهِ الْآيَةَ فِيْ سُوْرَةٍ كَذَا
بَعْدَ آيَةٍ كَذَا (Letakkanlah ayat ini disurat tertentu dan
sesudah ayat tertentu). Berdasarkan petunjuk inilah, maka penyusunan ayat-ayat
Alquran dalam setiap surat menjadi susunan seperti yang terlihat dalam mushaf
yang ada sekarang ini.
Sebagaimana
diketahui, bahwa masyarakat Arab yang hidup pada masa itu dikenal sebagai
masyarakat yang Ummiy (tidak bisa membaca dan menulis), namun tidak
berarti semuanya Ummiy. Begitu pula dengan alat-alat tulis yang ada,
sungguhpun tidak ada kertas yang dapat dijadikan sarana, namun dengan peralatan
seadanya sebagai pengganti kertas, yang berupa tulang-tulang unta, kulit
kambing, pelepah kurma, batu, dll. tidak mengurangi antusiasme para sahabat
untuk menuliskan Alquran.
Mengenai
keberadaan kertas sebagai bahan tulis-menulis pada waktu itu, sebenarnya
Alquran sendiri telah menyebutkannya pada dua tempat di surat al-An’am. Pertama
pada ayat 7 disebutkan dalam bentuk mufrad (tunggal), yaitu: قِرْطَاس , yang kedua pada ayat 91 disebutkan dalam
bentuk jama’ (plural), yaitu: قَرَاطِيْس .
Penyebutan nama media tulis ini dalam Alquran menunjukkan, bahwa kertas
sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu itu, namun dalam
bentuknya yang masih sangat sederhana dan jumlah masih sangat terbatas.
D.
Tafsir dan I’jaz Al-Quran
1.
Pengertian I’jaz
Dari segi bahasa, kata i’jaz diambil dari akar kata a’jaza-yu’jizu.
Al-‘ajzu yang secara harfiyah antara lain berarti lemah,tidak mampu, tidak
berdaya. Lawan kata dari al-qudroh yang berati sanggup, mampu atau
kuasa. I’jaz yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu ini, sejalan
dengan firman Allah Swt. dalam surat Al-Maidah ayat 31:
قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ
أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ
النَّادِمِينَ
Artinya: ”...mengapa aku tidak mampu berbuat seperti
burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini.” ( QS.
Al-maidah : 31).
Sedangkan yang dimaksud dengan i’jaz, secara terminology
ilmu al-Qur’an adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut:
1.
Manna al-Qathan; “I’jaz (kemukjizatan) adalah menampakkan
kebenaran nabi Saw.-dalam pengakuan
orang lain-sebagai seorang rasul utusan Allah Swt. dengan menampakkan kelemahan
orang Arab untuk menandinginya atau menghadapi mukjizat yang abadi, yaitu
al-Qur’an dan kelemahan-kelemahan generasi sesudah mereka.[21]
2.
Muhammad Bakar Ismail; “I’jaz (mukjizat) adalah perkara luar
biasa yang disertai-dan diikuti-dengan tantangan yang diberikan oleh Allah Swt.
kepada nabi-nabi-Nya sebagai hujjah dan bukti yang kuat atas misi dan
kebenaran terhadap apa yang diembannya, yang bersumber dari Allah Swt.[22]
3.
Muhammad Ali al-Shabuny; “I’jaz ialah menetapkan kelemahan
manusia baik secara kelompok maupun bersama-sama untuk menandingi hal yang
serupa dengannya, maka mukjizat merupakan yang datangnya dari Allah Swt. yang
diberikan kepada hamba-Nya untuk memperkuat kebenaran misi kerasulan dan
kenabiannya.[23]
Dari ketiga definisi di atas dapat dipahami antara i’jaz dan
mukjizat itu dapat diakatakan searti, yakni melemahkan. Hanya saja
pengertian i’jaz di atas mengesankan batasan yang lebih bersifat
spesifik, yaitu hanya al-Qur’an. Sedangkn pengertian mukjizat, mengesankan batasan
yang lebih luas, yakni bukan hanya berupa al-Qur’an, tetapi juga
perkara-perkara lain yang tidak mampu dijangkau oleh segala daya dan kemampuan
manusia secara keseluruhan. Dengan demikian, dalam konteks ini antara
pengertian i’jaz dan mukjizat itu saling isi mengisi dan saling
lengkap melengkapi, sehingga dari batasan-batasan tersebut tampak dengan jelas
keistimewaan dari ketetapan Allah yang khusus diberikan kepada Rasul-rasul
pilihan-Nya, sebagai salah satu bukti kebenaran misi kerasulan yang dibawa
itu.
Jadi I'jaz al-Qur'an adalah ilmu
Al-Qur'an yang membahas kekuatan susunan lafal dan kandungan Al-Qur'an, hingga
dapat mengalahkan ahli-ahli bahasa Arab dan ahli-ahli lain.[24]
Tujuan I’jazul Qur’an
Dari pengertian yang telah diuraikan
di atas, dapatlah diketahui bahwa tujuan i’jazul Qur’an itu banyak, di
antaranya yaitu :
a.
Membuktikan
bahwa Nabi Muhammad saw yang membawa mukjizat kitab Al-Qur’an itu adalah
benar-benar seorang Nabi dan Rasul Allah.
b.
Membuktikan
bahwa kitab al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah SWT, bukan buatan
malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi Muhammad saw.
c.
Menunjukkan
kelemahan mutu sastra dan balaghahnya bahasa manusia, karena terbukti
pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa Arab tidak ada yang mampu
mendatangkan kitab tandingan yang sama seperti al-Qur’an, yang telah
ditantangkan kepada mereka dalam berbagai tingkat dan bagian al-Qur’an.
d.
Menunjukkan
kelemahan daya upaya dan rekayasa umat manusia yang tidak sebanding dengan
keangkuhan dan kesombongannya.
I’jaz al-Lughawi (Mukjizat dari Segi Bahasa)
Dari segi kebahasaan (lughawi) dan kesastraannya al-Qur`an
mempunyai gaya bahasa yang khas yang sangat berbeda dengan bahasa masyarakat
Arab, baik dari pemilihan huruf dan kalimat yang keduanya mempunyai makna yang
dalam.
Kehalusan bahasa dan uslub al-Qur`an yang menakjubkan
terlihat dari balagoh dan fasohahnya, baik yang konkrit maupun
abstrak dalam mengekspresikan dan mengeksplorasi makna yang dituju sehingga
dapat komunikatif antara Autor (Allah) dan penikmat (umat).
Selanjutnya apabila ketidakmampuan bangsa Arab telah terbukti
sedangkan mereka mumpuni dalam bidang bahasa dan sastra, maka terbukti pulalah
kemukjizatan al-Quran dalam segi bahasa dan sastra dan itu merupakan
argumenatasi terhadap mereka maupun terhadap kaum-kaum selain mereka. Sebab
dipahami bahwa apabila sebuah pekerjaan tidak bisa dilakukan oleh mereka yang
ahli dalam bidangnya tentunya semakin jauh lagi kemustahilan itu bisa dilakukan
oleh mereka yang tidak ahli dibidangnya.[25]
I’jaz al-Tasyri’i (Kemukjizatan dari Segi Hukum)
Dalam sejarah kehidupannya, manusia telah banyak mengenal berbagai
macam doktrin, pandangan hidup, sistem dan perundang-undangan yang bertujuan
membangun hakikat kebahagiaan individu di dalam masyarakat. Namun tidak satupun
daripadanya yang dapat mencapai seperti yang dicapai al-Qur’an dalam
kemukjizatan tasyri’-nya.[26]
Dalam menetapkan hukum
al-Qur`an menggunakan cara-cara sebagai berikut;
1.
Secara
mujmal. Cara ini digunakan dalam banyak
urusan ibadah yaitu dengan menerangkan pokok-pokok hukum saja. Demikian pula
tentang mu’amalat badaniyah al-Qur`an hanya mengungkapkan kaidah-kaidah
secara kuliyah. sedangkan perinciannya diserahkan pada as-Sunah
dan ijtihad para mujtahid.
2.
Hukum
yang agak jelas dan terperinci. Misalnya hukum jihad, undang-undang
peranghubungan umat Islam dengan umat lain, hukum tawanan dan rampasan perang.
Seperti QS. al-Taubah 9:41:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا
بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah
kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan
harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.”
3.
Jelas
dan terpeinci. Diantara hukum-hukum ini adalah masalah hutang-piutang QS.
Al-Baqarah,2:282. Tentang makanan yang halal dan haram, QS. An-Nis` 4:29.
Tentang sumpah, QS. An-Nahl 16:94. Tentang perintah memelihara kehormatan
wanita, diantara QS. Al-Ahzab 33:59. dan perkawinan QS. An-Nisa` 4:22.
e.
Pengertian Tafsir dan Takwil
Qur’anul karim adalah sumber tasyri’
pertama bagi umat Muhammad. Dan kebahagiaan mereka bergantung pada pemahaman
maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang tekandung di
dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafaz dan ungkapan quran
tidaklah sama, padahal sedemikiannya gamlang dan ayat-ayatnya pun sedemikian
rinci. Perbedaan daya nalar di antara mereka ini adalah suatu hal yang tidak di
pertahankan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-maknanya yang zahir
dan pengertian ayat-ayatnya yang gelobal. sedang kalangan cerdik cendekia dan
terpelajar akan dapat menyimpulkan pula daripada makna-maknanya yang
menarik.dan di antara kedua kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat
pemahaman. Maka tidaklah mengherankan jika quran mendapat perhatian besar dari
umatnya melalui pengkajian intensif
terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata garib (aneh,ganjil) atau
mentak’wilkan takrib (susunan kalimat).
Pengertian ta’wil dan tafsir
Tafsir menurut
bahasa mengikuti wazan taf’il berasal dari akar kata al-fasr (f, s, r,) yang
berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakan atau mennerangkan makna yang
abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba-yadribu dan nasara-yansuru.
Dikatakan : “fasara (asy-syai’a) yafsiru” dan “yafsuru, fasran”, dan “fasarahu,
artinya “abanahu” (menjelaskannya).
Perbedaan antara ta’wil dan tafsir
Para ulama berbeda
pendapat tentang perbedaan antara kedua kata tersebut. Berdasarkan pada
pembahasab di atas tentang makna tafsir dan ta’wil, kita dapat menyimpulkan
pendapat terpenting di antaranya sebagai berikut :
1)
Apabila
kita berpendapat, ta’wil adalah menapsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya,
maka ta’wil dan tafsir adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya.
2)
Apabila
kita berpendapat, ta’wil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka
ta’wil dari talab (tuntutan) adalah
esensi perubahan yang di tuntut itu sendiri dan ta’wil dari khabar adalah
esensi sesuatu yang di berikan.
3)
Dikatakan,
tafsir adalah apa yang telah jelas di kitabullah atau tertentu (pasti) dalam
sunah yang sahih karena maknanya telah jelas dan gamblang.
4)
Dikatakan
pula, tafsir lebih banyak digunakan dalam (menerangkan) lafaz dan mufradat
(kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak di pakai dalam (menjelaskan) makna dan
susunan kalimat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qathan, Manna.
2010. “Mabahits fi Ulum al-Qur’an” diterjemahkan oleh Aunur Rafiq
El-Mazni, Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-kautsar. cet.
Ke-10
Al-Qattan, Manna
Khalil.2012. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an: diterjemahkan dari bahasa Arab oleh
Drs. Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. cet. 15
Al-Shabuny, Muhammad
Ali. 1970. al-Tibyan fi Ulum
al-Qur’an. Bairut: Dar al-Irsyad
As-Shalih, Subhi.
2011. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: diterjemahkan oleh Tim Pustaka
Firdaus. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus. cet.11
Hamzah,
Muchotob . 2003. Studi Al-Qur'an
Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media ISBN 979-95526-1-3
Ismail,
Muhammad Bakar . 1991. Dirasat fi Ulum al-Qur’an. Kairo: Dar al-Manar
Zarqani, Muhammad.
t.t. Manahilul Irfan fi Ulumil Quran, Juz III. Mesir: Isa Al-Babi Al-Himabi
[1]
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an: diterjemahkan dari
bahasa Arab oleh Drs. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2012),
cet. 15, h.10-15
[2]
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: diterjemahkan oleh Tim
Pustaka Firdaus (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2011), cet.11, h. 4
[3]
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an…… h. 15-16
[4]
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an…. h. 6
[5]
Ibid, h.4
[6]
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an…… h. 22-23
[7]
Ibid. h.25
[8]
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an…… h.28
[9]
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an…. h. 59
[10]
Ibid. h. 58
[11]
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an…… h.187
[12]
Ibid. h. 188
[13]
Ibid. h. 193
[14]
Ibid. h. 218
[15]
Ibid. h. 229-234
[16]
Ibid. h. 8
[17]
Ibid. h. 187
[18]
Ibid. h. 106-114
[19]
Ibid. h.72-73
[20]
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an…… h.248
[21] Manna
al-Qathan, “Mabahits fi Ulum al-Qur’an” diterjemahkan oleh Aunur
Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar,
2010), cet. Ke-10, h. 323
[24]
Hamzah, Muchotob (2003). Studi Al-Qur'an
Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media ISBN 979-95526-1-3
[25] Muhammad Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulumil
Quran, Juz III, (Mesir: Isa Al-Babi Al-Himabi, t.t.) h. 332
No comments:
Post a Comment